( AMANK ADI) أمانك أدي

Sastrawan Indonesia








Amir Hamzah
Biografi

Nama lengkap Amir Hamzah adalah Tengku Amir Hamzah, tetapi biasa dipanggil Amir Hamzah. Ia dilahirkan di Tanjung Pura, Langkat, Sumatra Utara, pada 28 Februari 1911. Amir Hamzah tumbuh dalam lingkungan bangsawan Langkat yang taat pada agama Islam. Pamannya, Machmud, adalah Sultan Langkat yang berkedudukan di ibu kota Tanjung Pura, yang memerintah tahun 1927-1941. Ayahnya, Tengku Muhammad Adil (yang tidak lain adalah saudara Sultan Machmud sendiri), menjadi wakil sultan untuk Luhak Langkat Bengkulu dan berkedudukan di Binjai, Sumatra Timur.

Mula-mula Amir menempuh pendidikan di Langkatsche School di Tanjung Pura pada tahun 1916. Lalu, di tahun 1924 ia masuk sekolah MULO (sekolah menengah pertama) di Medan. Setahun kemudian dia hijrah ke Jakarta hingga menyelesaikan sekolah menengah pertamanya pada tahun 1927. Amir, kemudian melanjutkan sekolah di AMS (sekolah menengah atas) Solo, Jawa Tengah, Jurusan Sastra Timur, hingga tamat. Lalu, ia kembali lagi ke Jakarta dan masuk Sekolah Hakim Tinggi hingga meraih Sarjana Muda Hukum.

Amir Hamzah tidak dapat dipisahkan dari kesastraan Melayu. Oleh karena itu, tidak heran jika dalam dirinya mengalir bakat kepenyairan yang kuat. Buah Rindu adalah kumpulan puisi pertamanya yang menandai awal kariernya sebagai penyair. Puncak kematangannya sebagai penyair terlihat dalam kumpulan puisi Nyanyi Sunyi dan Setanggi Timur. Selain menulis puisi, Amir Hamzah juga menerjemahkan buku Bagawat Gita.

Riwayat hidup penyair yang juga pengikut tarekat Naqsabandiyah ini ternyata berakhir tragis. Pada 29 Oktober 1945, Amir diangkat menjadi Wakil Pemerintah Republik Indonesia untuk Langkat yang berkedudukan di Binjai. Ketika itu Amir adalah juga Pangeran Langkat Hulu di Binjai.

Ketika Sekutu datang dan berusaha merebut hati para sultan, kesadaran rakyat terhadap revolusi menggelombang. Mereka mendesak Sultan Langkat segera mengakui Republik Indonesia. Lalu, Revolusi Sosial pun pecah pada 3 Maret 1946. Sasarannya adalah keluarga bangsawan yang dianggap kurang memihak kepda rakyat, termasuk Amir Hamzah. Pada dini hari 20 Maret 1946 mereka dihukum pancung.

Namun, kemudian hari terbukti bahwa Amir Hamzah hanyalah korban yang tidak bersalah dari sebuah revuolusi sosial.
Pada tahun 1975 Pemerintah RI menganugerahinya gelar Pahlawan Nasional.

________________________________________________________

 Chairil Anwar
 K.H. Ahmad Thohari
Mahatma Gandhi
 seno gumira ajidharma
Seno Gumira Ajidarma
soetardji calzoum bachri

ws rendra
 +++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
Ahmad Tohari merupakan sastrawan Indonesia , ia dilahirkan di desa Tinggarjaya, Kecamatan Jatilawang, Banyumas tanggal 13 Juni 1948. Pendidikan formalnya hanya sampai SMA di SMAN II Purwokerto. Namun demikian beberapa fakultas seperti ekonomi, sospol, dan kedokteran pernah dijelajahinya. Semuanya tak ada yang ditekuninya. Ahmad Tohari tidak pernah melepaskan diri dari pengalaman hidup kedesaannya yang mewarnai seluruh karya sastranya.
Bibliografi:

*       Ronggeng Dukuh Paruk
*       Jantera Bianglala
Ketiga novel tersebut adalah novel trilogi, yang melukiskan dinamika kehidupan ronggeng di desa terpencil, Dukuh Paruk.
Karya-karya yang lain:
*       Kubah
*       Bekisar Merah
*       Di Kaki Bukit Cibalak
Karya-karya Ahmad Tohari telah diterbitkan dalam bahasa Jepang, Tionghoa, Belanda dan Jerman. Edisi bahasa Inggrisnya sedang disiapkan penerbitannya.
BIODATA SASTRAWAN INDONESIA
1950-1999


Acep Zamzam Noor dilahirkan di Tasikmalaya, Jawa Barat, 28 Februari 1960. Alumnus Seni Rupa ITB ini melanjutkan studinya di Universita Italiana per Stranieri, Perugia, Italia. Puisi-puisinya tersebar di berbagai majalah dan surat kabar dalam dan luar negeri (Malaysia). Kumpulan puisinya yang sudah diterbitkan antara lain: Tamparlah Mukaku (1982), Aku Kini Doa (1986), Kasidah Sunyi (1989), Dari Kota Hujan (1996), Di Luar Kata (1997), Di Atas Umbria (1999). Selain itu karyanya dimuat pula dalam sejumlah antologi, seperti: Antologi Pesta Sastra Indonesia (1987), Tonggak 4 (1987; Linus Suryadi AG [ed.]), Ketika Kata Ketika Warna (1995).

Afrizal Malna dilahirkan di Jakarta, 7 Juni 1957. Selain tersebar di berbagai media massa, karya-karyanya dikumpulkan dalam: Abad yang Berlari (1984; mendapat pujian Dewan Juri Hadiah Sastra Dewan Kesenian Jakarta 1984)Mitos-mitos Kecemasan (1985), Yang Berdiam dalam Mikrofon (1990), Arsitektur Hujan (1996; memperoleh penghargaan dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud RI), Kalung dari Teman (1999), Sesuatu Indonesia (2000). Ia memberi pengantar sejumlah buku para sastrawan segenerasinya, seperti: Juniarso Ridwan, Made Wianta, Soni Farid Maulana, Kriapur, Jamal D. Rahman, Dorothea Rosa Herliany.

Agus Noor dilahirkan di Tegal, Jawa Tengah, 26 Juni 1968. Menulis cerita pendek dan esai, dan dipublikasikan antara lain di Horison, Kompas, Jawa Pos. Karya-karyanya: Bapak Presiden yang Terhormat (1999) dan Memorabilia (2000). Selain  itu, tersebar di berbagai antologi, antara lain: Lukisan Matahari (1993), Lampor (1994; kumpulan cerita pendek terbaik Kompas).

Agus R. Sarjono dilahirkan di Bandung, Jawa Barat, 27 Juli 1962. Menulis puisi  dan esai. Karya-karya penyair yang juga redaktur majalah sastra Horison ini antara lain: Puisi dan Beberapa Masalahnya (1993; [ed.]), Kenduri Air Mata (1994), Sastra Indonesia dalam Empat Orde Baru (2001), Bahasa Indonesia dan Bonafiditas Hantu (2001), Suatu Cerita dari Negeri Angin (2001; edisi bahasa Inggris: A Story from the Country of the Wind). Karya-karya terjemahannya: Kepada Urania (1998; Joseph Brodsky) dan Impian Kecemburuan (1998; Seamus Heaney). Selain itu, karya-karyanya tersebar di berbagai antologi di dalam dan luar negeri.

Ahmad Syubbanuddin Alwy dilahirkan di Cirebon, Jawa Barat, 26 Agustus 1962. Kumpulan puisinya, Bentangan Sunyi, diluncurkan pada 1996. Selain itu, karya-karyanya termuat dalam beberapa antologi, seperti Puisi Indonesia 1987, Titian Antar Bangsa (1988), Negeri Bayang-bayang (1996), Cermin Alam (1997).

Ahmadun Yosi Herfanda dilahirkan di Kendal, Jawa Tengah, 17 Januari 1956. Selain menyair dan menulis cerpen dan esai, lulusan FKSS IKIP Yogyakarta ini jadi wartawan dan redaktur di berbagai media, antara lain di buletin Warastra, buletin Intra, suratkabar Kedaulatan Rakyat, Yogya Post, majalah Sarinah, dan terakhir di harian Republika. Karyanya tersebar di berbagai koran tanah air, dan termuat dalam berbagai antologi bersama. Belasan buku kumpulan puisinya sudah terbit, terakhir, 1996: Sembahyang Rumputan dan Fragmen-Fragmen Kekalahan.

Ayu Utami dilahirkan di Bogor, Jawa Barat, 21 November 1968. S-1 Sastra Rusia dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Pernah bekerja sebagai wartawan Matra, Forum Keadilan, dan D & R. Sepanjang 1991 menulis kolom mingguan “Sketsa” di harian Berita Buana. Esai-esainya kerap dipublikasikan di jurnal Kalam. Novelnya, Saman, memenangkan Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta 1998. Kini bekerja sebagai redaktur jurnal Kalam.

Beni Setia dilahirkan di Soreang, Jawa Barat, 1 Januari 1954. Ia menulis dalam bahasa Sunda dan Indonesia, berupa puisi, cerpen, artikel, esai, dan tersebar di berbagai media massa. Karya-karyanya: Legiun Asing: Tiga Kumpulan Sajak (1987), Dinamika Gerak (1990), dan Harendong (1996).

Bre Redana  dilahirkan di Salatiga, Jawa Tengah, 27 November 1957. Wartawan Kompas sejak 1982 ini pada 1990-91 menimba ilmu jurnalistik di School of Technology, Darlington, Inggris. Tulisannya tersebar di Kompas, Suara Pembaruan, dan lain-lain. Kumpulan cerita pendeknya yang telah diterbitkan adalah:  Urban Sensation (1993) dan Dongeng untuk Seorang Wanita (1999). Selain itu karyanya terdapat pula dalam kumpulan cerita pendek terbaik Kompas: Pelajaran Mengarang (1993), Lampor (1994), Derabat (1999), Dua Tengkorak Kepala (2000).

Cecep Syamsul Hari dilahirkan di Bandung, Jawa Barat, 1 Mei 1967. Sebagian tulisannya dipublikasikan di: Kompas, Horison, The Jakarta Post, Utan Kayu Tafsir dalam Permainan (1998), Derabat: Kumpulan Cerita Pendek Terbaik Kompas 1999. Beberapa karya terjemahan dan suntingannya: Para Pemabuk dan Putri Duyung (1996; Pablo Neruda), Hikayat Kamboja (1996; D.J. Enright), Ringkasan Sahih Bukhari (1997; kompilasi 2230 hadis Bukhari karya Al-Imam Zain al-Din Ahmad bin Abd al-Latif al-Zabidi), Kisah-kisah Parsi Jilid III & IV (2000; C.A. Mees Santport dan H.B. Jassin), Mamannoor: Umi Dachlan Imagi dan Abstraksi (2000). Puisi-puisinya dalam Kenang-kenangan (1996) diterjemahkan Harry Aveling ke dalam bahasa Inggris, dipublikasikan di Heat Literary International (1999; Australia) dan Secrets Need Words: Indonesian Poetry 1966-1998 (2001; Amerika Serikat).

Dee, yang bernama lengkap Dewi Lestari, dilahirkan di Bandung, 20 Januari 1976. S-1 Ilmu Politik dari Hubungan Internasional Universitas Parahyangan, Bandung. Ia lebih dulu dikenal sebagai pencipta lagu dan penyanyi dari trio vokal “Rida, Sita, Dewi”. Tercacat sebagai dewan redaksi CIMM (Circle of Information for Mass Media), dan kontributor majalah Trolley.  Supernova adalah novelnya pertama yang direncanakan sebagai suatu novel serial dengan spirit penelusuran terhadap spiritualitas dan sains.

Dorothea Rosa Herliany dilahirkan di Magelang, Jawa Tengah, 20 Oktober 1963. Sejak 1985 menulis di berbagai media massa, antara lain: Horison, Kompas, Jawa Pos, Basis, dan Dewan Sastra (Malaysia). Karya-karyanya: Nyanyian Gaduh (1987), Matahari yang Mengalir (1990), Kepompong Sunyi (1993), Nyanyian Rebana (1993), Nikah Ilalang (1995), Mimpi Gugur Daun Zaitun (1999; terpilih sebagai pemenang kedua Sayembara Mengarang Puisi Dewan Kesenian Jakarta 2000).

Eka Budianta dilahirkan di Ngimbang, Jawa Timur, 1 Februari 1956. Karya-karya penyair yang menulis sejak 1974 dan pernah menjadi wartawan Tempo, Yomiuri Shimbun, penyiar radio BBC London serta pengajar bahasa Indonesia pada International School of London ini antara lain: Cerita di Kebun Kopi (1981); Sejuta Milyar Satu (1984; mendapat penghargaan DKJ), Masih Bersama Langit (2000), dan kumpulan cerpen Api Rindu (1987).

Eliza Vitri Handayani mulai menulis sejak kelas 3 SD, dan meraih Juara I Lomba Menulis Naskah Film/Video yang diadakan Departemen Penerangan RI di tahun 1999, ketika ia masih duduk di kelas II SMU Taruna Nusantara, Magelang, Jawa Tengah, di usia 17 tahun. Ia menulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Kumpulan puisi dan noveletnya dalam bahasa Inggris: Moments (1997) dan Forever Friends (1999), keduanya masih dalam bentuk manuskrip. Pada September 2000 ia berangkat ke Amerika Serikat, melanjutkan studi film dan penulisan fiksi di Wesleyan University, Connecticut, Amerika Serikat. Naskah Film TV berbentuk novelet yang ia tulis, Area X, dimuat bersambung di majalah sastra Horison mulai Januari 2001.

Emha Ainun Nadjib dilahirkan di Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953. Karya-karya alumnus International Writing Program di Iowa University, Amerika Serikat (1981) ini antara lain: Sajak-sajak Sepanjang Jalan (1978), Nyanyian Gelandangan (1982), Indonesia Bagian Sangat Penting dari Desa Saya (1980), 99 untuk Tuhanku (1980), Syair Lautan Jilbab (1989), Suluk Pesisiran (1988), Dari Pojok Sejarah: Renungan Perjalanan, Sastra yang Membebaskan (1985), Cahaya Maha Cahaya (1991), Slilit Sang Kiai (1991), Markesot Bertutur (1992), Seribu Masjid Satu Jumlahnya: Tahajud Cinta Seorang Hamba (1990), Surat Kepada Kanjeng Nabi (1996), Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (1994), Tuhan pun “Berpuasa” (1977).

F. Rahardi dilahirkan di Ambarawa, Jawa Tengah, 10 Juni 1950. Karya-karya penyair yang terakhir menjabat Pemimpin Umum/Wakil  Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab majalah pertanian Trubus ini antara lain: Soempah WTS (1983), Catatan Harian Sang Koruptor (1985), Silsilah Garong (1990), Kentrung Itelile (1993), Petani Berdasi (1994).

Fakhrunnas MA Jabbar dilahirkan di Tanjung Barulak, Riau, 18 Januari 1959. Karya-karyanya: Di Bawah Matahari (1981; bersama Husnu Abadi), Matahari Malam, Matahari Siang (1982; bersama Husnu Abadi), Dari Bumi Lada (1996), dan lain-lain.

Gus tf dilahirkan di Payakumbuh, Sumatera Barat, 13 Agustus 1965. Karya-karyanya: Segi Empat Patah Sisi (1990), Segitiga Lepas Kaki (1991), Istana Ketirisan (1996), Sangkar Daging (1997), Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta (1999), Tambo Sebuah Pertemuan (2000). Selain itu tersebar pula di banyak media massa dan antologi.

Harris Effendi Thahar dilahirkan di Tembilanan, Riau, 4 Januari 1950. Karya-karya penulis cerpen yang pada 1985 berkesempatan mengajar di Universitas Tasmania, Hobart, Australia, terdapat dalam sejumlah kumpulan cerita pendek terbaik Kompas, seperti: Pelajaran Mengarang, Lampor, dan Laki-laki yang Kawin dengan Peri. Karya-karyanya yang telah diterbitkan: Lagu Sederhana Merdeka (1976), Kiat Menulis Cerita Pendek (1999), Bendera Kertas dan Daun Jati, Si Padang.

Helvy Tiana Rosa  dilahirkan di Medan, Sumatera Utara, 2 April 1970. S-1 Sastra  Arab dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Menulis puisi, drama, cerita pendek, dan novel. Sebagian telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Arab, Perancis, dan Jepang. Karya-karyanya antara lain: Aminah dan Palestina (1991), Negeri Para Pesulap (1993), Maut di Kamp (1997; bersama M. Syahidah), Luka Bumi (1998; bersama Rahmadianti), Ketika Mas Gagah Pergi (1997), Mc. Alliester (1996), Lentera (1999; ditulis bersama Nadia), Sebab Sastra yang Merenggutku dari Pasrah (1999), Nyanyian Perjalanan (2000; bersama Gola Gong). Kini ia menjabat pemimpin redaksi Annida dan memimpin Forum Lingkar Pena, sebuah wadah penggemar sastra dan perempuan pengarang pemula dengan 2000 anggota se-Indonesia.

Hudan Hidayat dilahirkan di Yogyakarta, 3 Januari 1961. Sejak 1990-an aktif mempublikasikan cerpen di berbagai media massa seperti Suara Pembaruan, Republika, Horison, Media Indonesia, dan lain-lain. Kumpulan cerpennya, Orang Sakit, terbit pada 2000 dengan kata pengantar H.B. Jassin. 

Isbedy Setiawan ZS dilahirkan di Tanjungkarang, Lampung, 5 Juni 1958. Karyanya tersebar di berbagai media dalam negeri. Karya-karyanya: Darah (1982), Badai (1984), Akhir (1984), Khalwat, Membaca Bahasa Sunyi, Lukisan Ombak, dan antologi-antologi puisi Cermin Langit, Puisi Indonesia 1987, Dari Negeri Poci 2 (1994; F. Rahardi  [ed.]), Resonansi Indonesia (2000), dan lain-lain.

Jamal D. Rahman dilahirkan di Sumenep, Madura, 14 Desember 1967. Menulis puisi dan esai. Tulisannya tersebar di berbagai media, antara lain: Republika, Ulumul Qur’an, Jawa Pos. Kumpulan puisi penyair yang juga redaktur pelaksana majalah sastra Horison ini adalah Air Mata Diam (1993). Puisi-puisinya dimuat pula dalam beberapa antologi, antara lain: Mimbar Penyair Abad 21.

Joko Pinurbo dilahirkan di Sukabumi, Jawa Barat, 11 Mei 1962. Manuskrip penyair yang hingga kini bekerja sebagai salah seorang redaktur penerbitan Kompas ini, Di Bawah Kibaran Sarung, terpilih sebagai pemenang ketiga Sayembara Mengarang Puisi Dewan Kesenian Jakarta 2000. Selain di dalam Celana (1999), karya-karyanya ditemukan pula di berbagai media massa, antara lain: Horison, Basis, Kalam, Kompas, Republika.

Joni Ariadinata dilahirkan di Majalengka, Jawa Barat, 23 Juni 1966. Karya-karyanya tersebar di berbagai media massa, seperti Kompas, Republika, Horison, Matra. Cerita pendeknya, “Lampor”, terpilih sebagai cerita pendek terbaik Kompas 1994 dan diterbitkan dalam kumpulan cerpen terbaik Kompas berjudul sama di tahun yang sama. Karya-karyanya: Air Kaldera (1998), Kali Mati (1999), dan Kastil Angin Menderu (2000). Selain itu termuat pula dalam sejumlah antologi.

Kriapur dilahirkan di Solo, Jawa Tengah, 6 Agustus 1959, dan meninggal di Batang, provinsi yang sama, 17 Februari 1987. Menulis sejak 1974. Puisi-puisinya dikumpulkan dalam Tiang Hitam Belukar Malam (1996), dan sejumlah antologi.

Leila S. Chudori dilahirkan di Jakarta, 12 Desember 1962. Karyanya dimuat antara lain di: Horison, Matra, Media Indonesia. Kumpulan cerita pendeknya, Malam Terakhir, terbit pada 1989.

Linus Suryadi AG dilahirkan di Sleman, Yogyakarta, 3 Maret 1951, dan meninggal di kota kelahirannya, 30 Juli 1999. Mengikuti International Writing Program di Iowa University, Amerika Serikat (1982) dan dua tahun kemudian mendapat Hadiah Seni dari Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. Karya-karyanya antara lain: Langit Kelabu (1976), Pengakuan Pariyem (1981), Perkutut Manggung (1986), Tugu (1986), Kembang Tunjung (1989), Rumah Panggung (1989), Di Balik Sejumlah Nama (1989). Karya-karyanya diangkat pula dalam Laut  Biru Langit Biru (1977: Ajip Rosidi [ed.]), Walking Westward in the Morning: Seven Contemporary Indonesia Poets (1990; John H. MacGlynn [ed.]), This Same Sky: A Collection of Poems from Around the World (1992; Naomi Shihab Nye [ed.])

M. Shoim Anwar dilahirkan dilahirkan di Jombang, Jawa Timur, 16 Mei 1963. Karya-karyanya: Sang Pelancong (1991), Angin Kemarau (1922), Oknum (1992), Musyawarah Para Bajingan (1993), Pot dalam Otak Kepala Desa (1995). Cerpennya terdapat pula dalam banyak antologi, antara lain: New York After Midnight (1991).

Mathori A. Elwa dilahirkan di Magelang, Jawa Tengah, 6 September 1965. Sebelum Rajah Negeri Istighfar, kumpulan puisi penyair yang menjalani kehidupan asketik ini adalah Yang Maha Syahwat (1997). Selain itu karya-karyanya dimuat pula antara lain dalam antologi: Puisi Indonesia 1987, Tiga Penyair di TIM.

Medy Lukito dilahirkan di Surabaya, 21 Juli 1962. Puisi, cerpen serta artikel-artikelnya tersiar di berbagai surat kabar sejak 1978. Selain dalam antologi Festival Puisi XIV (1994); Trotoar (1996); dan Jakarta, Jangan Lagi (1997), puisi-puisinya dikumpulkan dalam In Solitude (1993) dan Jakarta, Senja Hari (1998).

Moh. Wan Anwar dilahirkan di Cianjur, Jawa Barat, 1971. Penyair yang juga redaktur majalah sastra Horison ini, tulisannya tersebar di berbagai media massa dalam negeri. Karya-karyanya terdapat dalam antologi puisi: Rumah Kita (1996), Malam 1000 Bulan (1997), Transendensi Waktu (1997), Antologi Puisi Indonesia 1997.

Nenden Lilis A. dilahirkan di Garut, Jawa Barat, 26 September 1971. Tulisannya antara lain dimuat di Kompas, Pikiran Rakyat, Republika, Media Indonesia. Kumpulan puisi tunggalnya, Negeri Sihir, diluncurkan pada 1999. Selain itu dimuat pula dalam sejumlah antologi, di antaranya: Mimbar Penyair Abad 21 (1996) dan Dua Tengkorak Kepala: Kumpulan Cerita Pendek Terbaik Kompas 2000.

Nirwan Dewanto, lahir di Surabaya, 28 September 1961. Lulus dari jurusan Geologi, Fakultas Teknologi Mineral, ITB (1980). Tulisannya tersebar di Pikiran Rakyat, Kompas, Suara Karya Minggu, Berita Buana, Kalam, dan lain-lain. Satu kumpulan esainya yang sudah diterbitkan: Senjakala Kebudayaan (1996). Terakhir ia mengasuh jurnal kebudayaan Kalam.

Noorca M. Massardi dilahirkan di Subang, Jawa Barat, 28 Februari 1954. Karya-karyanya: Perjalanan Kehilangan (1974; pemenang hadiah Sayembara Penulisan Lakon DKJ), Kuda-kuda (1975), Tin Ton (1976), Growong (1987), dan novel Sekuntum Duri (1979) dan Mereka Berdua (1982).

Oka Rusmini dilahirkan di Jakarta, 11 Juli 1967. Kumpulan puisinya, Monolog Pohon, terbit pada 1997, dan novelnya, Tarian Bumi, diluncurkan tiga tahun kemudian. Selain itu karya-karyanya dimuat dalam sejumlah antologi, antara lain: Rindu Anak Mendulang Kasih (1987), Antologi Puisi Wanita Penyair Indonesia dan Dunia Ibu: Antologi Cerpen Wanita Cerpenis Indonesia (keduanya dieditori Korrie Layun Rampan), Negeri Bayang-bayang (1996) dan Mimbar Penyair Abad 21. Cerpennya, “Putu Menolong Tuhan”, memenangkan Sayembara Mengarang Cerita Pendek Majalah Femina 1994.

Ratna Idraswari Ibrahim dilahirkan di Malang, Jawa Timur, 24 April 1949. Cerpen-cerpennya dimuat antara lain di: Kompas, Jawa Pos, Basis, Horison, Republika. Kumpulan cerpennya yang sudah diterbitkan adalah Menjelang Pagi (1994). Selain itu, karya-karyanya dimuat pula dalam antologi cerpen terbaik Kompas: Pelajaran Mengarang (1993), Lampor (1994), dan Dua Tengkorak Kepala (2000), serta dalam Dunia Ibu: Antologi Cerita Pendek Wanita Cerpenis Indonesia dan Ungu: Antologi Puisi wanita Penyair Indonesia (Korrie Layun Rampan [ed.]).

Soni Farid Maulana dilahirkan di Tasikmalaya, Jawa Barat, 19 Februari 1962. Sajak-sajak penyair yang bekerja sebagai wartawan harian Pikiran Rakyat ini tersebar di berbagai media massa dalam negeri, dan sebagian telah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dan Jerman. Buku kumpulan puisinya yang telah diterbitkan: Bunga Kecubung (1984), Dunia Tanpa Peta (1985), Krematorium Matahari (1985), Para Penziarah (1987), Matahari Berkabut (1989), Kalakay Mega (1992), Guguran Debu (1994), Panorama Kegelapan (1996), Lagu dalam Hujan (1996), Sehabis Hujan (1996), Di Luar Mimpi (1997), Impian Depan Cermin (1999), Kita Lahir sebagai Dongengan (2000).

Suminto A. Sayuti dilahirkan di Purbalingga,   Jawa Tengah, 26 Oktober 1956. Selain tersebar di berbagai antologi, karya-karya penyair yang hingga kini setia mengulas karya puisi dan sastra di mingguan Minggu Pagi dan KR Minggu ini, antara lain: Puisi dan Pengajarannya (1958), Himpunan Analisis Sastra (1983), Himpunan Analisis Puisi (1988), Dasar-dasar Analisis Fiksi (1988), Malam Lereng (1986), Syair-syair Cinta (1989). Kini guru besar, mengajar di Universitas Negeri Yogyakarta.

Tan Lioe Ie dilahirkan di Denpasar. Tulisan-tulisannya antara lain dimuat di Bali Post dan Horison.  Kumpulan puisinya yang telah diterbitkan, Kita Bersaudara (1991), diterjemahkan Thomas Hunter ke dalam bahasa Inggris menjadi We Are All One. Selain itu, karya-karyanya dimuat pula dalam berbagai antologi, seperti Mimbar Penyair Abad 21 (1997).

Taufik Ikram Jamil dilahirkan dilahirkan di Bengkalis, Riau, 19 September 1963. Karya-karyanya: Tersebab Haku Melayu (1995), Sandiwara Hang Tuah (1996), Membaca Hang Jebat (1998), Hempasan Gelombang (1998; pemenang harapan kedua Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta 1998). Sebuah cerpennya, “Menjadi Batu”, terpilih sebagai Juara I Sayembara Cerpen Horison 1997. Kini ia bekerja sebagai wartawan harian Kompas.

Wowok Hesti Prabowo dilahirkan di Grobogan, Jawa Tengah, 16 April 1963.  Karya-karya penyair ketua pertama (1996-99) Komunitas Sastra Indonesia ini: Rumah Petak (1996; bersama Dingu Rilesta), Buruh Gugat (1999), Presiden dari Negeri Pabrik (1999), dan Lahirnya Revolusi (2000).  Selain itu, puisi-puisinya tersebar di banyak antologi.

Yudhistira ANM Massardi  dilahirkan di Subang, Jawa Barat, 28 Februari 1954. Pada 1985 mengikuti International Writing Program di Iowa University, Amerika Serikat. Karya-karyanya antara lain: Arjuna Mencari Cinta (1997; novel yang mendapat hadiah Yayasan Buku Utama Departemen P & K), Wot atawa Jembatan (1997), Ke (1978), Mencoba Tidak Menyerah (1979; mendapat penghargaan Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta 1977), Sajak Sikat Gigi (1983; salah satu kumpulan puisi terbaik 1976-77 versi Dewan Kesenian Jakarta), Wanita dalam Imajinasi (1994), Forum Bengkarung (1994).

Yusrizal KW dilahirkan di Padang, Sumatera Barat, 2 November 1969. Tulisan-tulisannya dipublikasikan antara lain di Kompas, Media Indonesia, Republika, Riau Pos. Kumpulan puisinya, Interior Kelahiran, terbit 1997. Selain itu karya-karyanya tersebar dalam berbagai antologi, antara lain: Mimbar Penyair Abad 21 dan Pistol Perdamaian: Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 1996.

Zeffry J. Alkatiri dilahirkan di Jakarta, 30 Agustus 1960. Dosen di jurusan Rusia FSUI yang menekuni bidang kebudayaan, kesusastraan dan mitologi ini telah melahirkan beberapa buku, antara lain: Manusia, Mitos, dan Mitologi (1998); Dari Pushkin sampai Perestroika (1999), manuskrip Simbol, Legitimasi dan Pembenaran. Manuskrip kumpulan puisinya, Dari Batavia Sampai Jakarta: 1619-1999 meraih juara pertama Sayembara Mengarang Puisi Dewan Kesenian Jakarta 2000.


Sumber: Taufiq Ismail, dkk., Horison Sastra Indonesia, Jakarta: Horison dan Ford Foundation, 2002.
BIODATA SASTRAWAN INDONESIA
1900-1949


A.A. Navis dilahirkan Padangpanjang, Sumatera Barat, 17 November 1924. “Robohnya Surau Kami” dan sejumlah cerita pendek lain penerima Hadiah Seni dari Departemen P dan K pada 1988 ini, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Jepang, Perancis, Jerman, dan Malaysia. Cerpen pemenang hadiah kedua majalah Kisah di tahun 1955 itu diterbitkan pula dalam kumpulan Robohnya Surau Kami (1956). Karyanya yang lain: Bianglala (1963), Hujan Panas (1964; Hujan Panas dan Kabut Musim, 1990), Kemarau (1967), Saraswati, si Gadis dalam Sunyi (1970; novel ini memperoleh penghargaan Sayembara Mengarang UNESCO/IKAPI 1968), Dermaga dengan Empat Sekoci (1975), Di Lintasan Mendung (1983), Alam Terkembang Jadi Guru (1984), Jodoh (1998).

Abdul Hadi WM dilahirkan di Sumenep, Madura, 24 Juni 1946. Antara 1967-83 pernah menjadi redaktur Gema Mahasiswa, Mahasiswa Indonesia, Budaya Jaya, Berita Buana, dan penerbit Balai Pustaka. Pada 1973-74 mengikuti International Writing Program di Iowa University, Amerika Serikat. Karya-karyanya: Riwayat (1967) Laut Belum Pasang (1971), Cermin (1975), Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur (1975), Meditasi (1976; meraih hadiah Buku Puisi Terbaik Dewan Kesenian Jakarta 1976-77), Tergantung Pada Angin (1977), Anak Laut Anak Angin (1983; mengantarnya menerima penghargaan SEA Write Award 1985). Sejumlah sajaknya diterjemahkan Harry Aveling dan disertakan dalam antologi Arjuna in Meditation (1976). Karya-karya terjemahannya: Faus (Goethe), Rumi: Sufi dan Penyair (1985), Pesan dari Timur (1985; Mohammad Iqbal), Iqbal: Pemikir Sosial Islam dan Sajak-sajaknya (1986; bersama Djohan Effendi), Kumpulan Sajak Iqbal: Pesan kepada Bangsa-bangsa Timur (1985), Kehancuran dan Kebangunan: Kumpulan Puisi Jepang (1987). Kumpulan esainya, Kembali ke Akar Kembali ke Sumber diluncurkan pada 1999, dua puluh tahun setelah ia menerima Anugerah Seni dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Abdul Muis dilahirkan di Solok, Sumatera Barat, 1886, dan meninggal di Bandung, 17 Juli 1959. Menulis novel Salah Asuhan (1928), Pertemuan Jodoh (1933), Surapati (1950), Robert Anak Surapati (1953), dan menerjemahkan antara lain: Don Quixote de la Mancha (1928; Carventes), Tom Sawyer Anak Amerika (1928; Mark Twain); Sebatang Kara (1932; Hector Malot), Tanah Airku (1950; C. Swann Koopman).

Abrar Yusra dilahirkan di Agam, Sumatera Barat, 26 Maret 1943. Karya-karya mantan redaktur pelaksana harian Singgalang yang kini banyak menulis buku biografi ini, antara lain: Ke Rumah-rumah Kekasih (1975), Siul (1975), Aku Menyusuri Sungai Waktu (1976), Amir Hamzah 1911-1946 sebagai Manusia dan Penyair (1996).

Achdiat K. Mihardja dilahirkan di Garut, Jawa Barat, 6 Maret 1911. Sebelum menjadi dosen Universitas Nasional Australia dari 1961 hingga pensiun, ia pernah bekerja sebagai guru Taman Siswa, redaktur Balai Pustaka, Kepala Jawatan Kebudayaan Perwakilan Jakarta Raya, dan dosen Fakultas Sastra Indonesia. Karyanya antara lain: Polemik Kebudayaan (1948; [ed].), drama Bentrokan dalam Asmara (1952), Pak Dullah in Extremis (1977), dan novel Debu Cinta Bertebaran (1973) serta Atheis (1949). Yang terakhir ini adalah karyanya yang paling terkenal dan memperoleh Hadiah Tahunan Pemerintah RI pada 1969. Tiga tahun kemudian novel tersebut diterjemahkan R.J. Maguire ke dalam bahasa Inggris.

Ahmad Tohari dilahirkan di Banyumas, Jawa Tengah, 13 Juni 1948. Pernah bekerja sebagai redaktur majalah Keluarga dan Amanah. Karya-karyanya: Kubah (1980; memenangkan hadiah Yayasan Buku Utama 1980), Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Lintang Kemukus Dini Hari (1985), Jantera Bianglala (1986; meraih hadiah Yayasan Buku Utama 1986), Di Kaki Bukit Cibalak (1986; pemenang salah satu hadiah Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta 1979), Senyum Karyamin (1989), Bekisar Merah (1993), Kiai Sadrun Gugat (1995), Lingkar Tanah Lingkar Air (1995), Nyanyian Malam (2000). Novelis yang karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing ini adalah salah seorang alumnus International Writing Program di Iowa University, Amerika Serikat, dan pada 1985 dianugerahi SEA Write Award.

Ajip Rosidi dilahirkan di Jatiwangi, Jawa Barat, 31 Januari 1938. Karya-karya Profesor Gaidai University of Foreign Studies Jepang ini antara lain: Tahun-tahun Kematian (1955), Pesta (1956; bersama Sobron Aidit dan S.M. Ardan), Di Tengah Keluarga (1956), Sebuah Rumah Buat Hari Tua (1957; meraih Hadiah Sastra Nasional BMKN), Perjalanan Penganten (1958), Surat Cinta Enday Rasidin (1960), Jeram (1970), Jakarta dalam Puisi Indonesia (1972; [ed.]), Laut Biru Langit Biru (1977; [ed.]), Syafruddin Prawiranegara Lebih Takut kepada Allah Swt. (1986; [ed.]),  Nama dan Makna (1988), Terkenang Topeng Cirebon (1992), Sastra dan Budaya Kedaerahan dalam Keindonesiaan (1995). Bersama Matsuoka Kunio, ia juga menerjemahkan novel-novel Kawabata Yasunari Penari-penari Jepang (1985; Izu no odoriko) dan Daerah Salju (1987; Yukiguni).

Akhudiat dilahirkan di Banyuwangi, Jawa Timur, 5 Mei 1946. Peserta International Writing Program di Iowa University, Amerika Serikat, pada 1975. Sejumlah naskah dramanya memenangkan Sayembara Penulisan Naskah Sandiwara Dewan Kesenian Jakarta. Karya-karyanya antara lain: Gerbong-gerbong Tua Pasar Senen (1971), Grafito (1972), Rumah Tak Beratap Rumah Tak Berasap dan Langit Dekat dan Langit Jauh (1974), Jaka Tarub (1974), Bui (1975), Re (1977), Suminten dan Kang Lajim (1982), dan Memo Putih (2000).

Ali Hasjmy  dilahirkan Seulimeum, Aceh, 28 Maret 1914, dan meninggal di Banda Aceh, 18 Januari 1998. Pernah menjabat Gubernur Aceh dan Rektor IAIN Jami`ah Ar-Raniry Darussalam, Banda Aceh. Tulisan-tulisannya berupa puisi dan novel. Karya-karyanya antara lain: Kisah Seorang Pengembara (1936), Sayap Terkulai (1936), Bermandi Cahaya Bulan (1938), Melalui Jalan Raya Dunia (1939), Suara Azan dan Lonceng Gereja (1948), Dewan Sajak (1940), Dewi Fajar (1940), Jalan Kembali (1964), Tanah Merah (1980).

Amir Hamzah dilahirkan di Tanjungpura, Sumatera Utara, 28 Februari 1911 dan meninggal di Kuala Begumit, di provinsi yang sama, 20 Maret 1946, sebagai korban dari suatu “revolusi sosial”. Ia merupakan pendiri majalah Pujangga Baru (1933) bersama-sama Sutan Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane. Dua kumpulan puisinya, Nyanyi Sunyi (1937) dan Buah Rindu (1941) tak henti-henti menjadi bahan pembicaraan dan kajian para kritikus sastra di dalam dan luar negeri serta diajarkan di sekolah-sekolah hingga saat ini. Selain itu ia pun melahirkan karya-karya terjemahan: Setanggi Timur (1939), Bagawat Gita (1933), Syirul Asyar (tt.).

Arifin C. Noer dilahirkan di Cirebon, Jawa Barat, 10 Maret 1941, dan meninggal di Jakarta, 28 Mei 1995. Pendiri Teater Kecil ini menulis puisi, drama, dan menyutradarai sejumlah film. Karya-karyanya anatara lain: Nurul Aini (1963), Mega-mega (1967), Kapai-kapai (1967; diterjemahkan Harry Aveling ke dalam bahasa Inggris), Prita Istri Kita, Umang-umang, Selamat Pagi Jajang (1979).

Armijn Pane dilahirkan di Muara Sipongi, Sumatera Utara, 18 Agustus 1908, dan meninggal di Jakarta, 16 Februari 1970. Antara 1933-55 pernah menjadi redaktur majalah Pujangga Baru, Balai Pustaka, dan majalah Indonesia. Novelnya, Belenggu (1940), hingga saat ini dipandang sebagai peretas penulisan novel Indonesia modern. Karya-karyanya yang lain: Jiwa Berjiwa (1939), Kort overzicht van de Moderne Indonesische Literatuur (1949), Kisah Antara Manusia (1953), Jinak-jinak Merpati (1953), Gamelan Jiwa (1960), Tiongkok Zaman Baru, Sejarahnya: Abad ke-19 Sekarang (1953). Ia pun menerjemahkan dan menyadur novel dan drama, yaitu: Membangun Hari Kedua (1956; Ilya Ehtenburg) dan Ratna (1943; Hendrik Ibsen).

Asrul Sani dilahirkan di Rao, Sumatera Barat, 10 Juni 1926. Lulusan  Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Indonesia (1955) ini pernah menjadi redaktur Pujangga Baru, Gema Suasana, Gelanggang, dan Citra Film. Karya-karya aslinya adalah: Tiga Menguak Takdir (1950; bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin), Dari Suatu Masa Dari Suatu Tempat (1972), Mantera (1975), Mahkamah (1988). Selain banyak menulis skenario dan menyutradarai film, ia dikenal sebagai penerjemah andal dan produktif. Karya-karya terjemahannya, antara lain: Laut Membisu (1949; Vercors), Pangeran Muda (1952; Antoine de Saint Exupery), Enam Pelajaran bagi Calon Aktor (1960; Richard Bolslavsky), Rumah Perawan (1977; Kawabata Yasunari), Villa des Roses (Willem Elschot), Puteri Pulau (1977; Maria Dermout), Kuil Kencana (1978; Yukio Mishima), Pintu Tertutup  (1979; Jean Paul Sartre), Julius Caesar (1979; William Shakespeare), Sang Anak (1979; Rabindranath Tagore); Catatan dari Bawah Tanah (1979; Dostoyevsky), Keindahan dan Kepiluan (1986; Nikolai Gogol).

BM Syamsuddin dilahirkan di Natuna, Kepulauan Riau, 10 Mei 1935, dan meningal di Bukitttingi, 20 Februari 1997. Karya-karyanya berupa puisi dan cerpen dimuat di antaranya di Kompas dan Suara Karya Minggu. Selain sejumlah buku cerita anak, ia menulis antara lain: Seni Lakon Mendu Tradisi Pemanggungan dan Nilai Lestari (1995) dan Seni Teater Tradisional Mak Yong.

Budi Darma dilahirkan di Rembang, Jawa Tengah, 25 April 1937. Meraih M.A. dan Ph.D di Indiana University, Bloomington, Amerika Serikat. Novelis yang pernah menjadi Rektor IKIP Surabaya ini meraih SEA Write Award pada 1984. Karya-karyanya: Orang-orang Bloomington (1980), Solilokui (1983), Olenka (1983; pemenang pertama Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta 1980 dan Hadiah Sastra DKJ 1983), Sejumlah Esai Sastra (1984), Rafilus (1988), Harmonium (1995), Ny Talis (1996). Sebuah cerpennya, “Derabat”, terpilih sebagai cerpen terbaik Kompas 1999 dan dipublikasikan pada buku berjudul sama. 

Bur Rasuanto dilahirkan di Palembang, Sumatera Selatan, 6 April 1937. Karya-karya salah seorang penanda tangan utama Manifes Kebudayaan dan doktor dalam bidang filsafat ini adalah: Bumi yang Berpeluh (1963), Mereka Akan Bangkit (1963; meraih Hadiah Sastra Yamin, namun ditolak pengarangnya), Mereka Telah Bangkit (1966), Sang Ayah (1969), Manusia Tanah Air (1969), Tuyet (1978; mendapat hadiah utama Yayasan Buku Utama Departemen P & K 1978).

BY Tand dilahirkan di Asahan, Sumatera Utara, 10 Agustus 1942. Karya-karyanya: Ketika Matahari Tertidur (1979), Sajak-sajak Diam (1983), Sketsa (1984; memenangkan Hadiah Utama Hadiah Puisi Putra II Malaysia), Alif Ba Ta (t.t.), Khatulistiwa (1981), Titian Laut I, II, III (1982; terbit di Malaysia), Si Hitam (1990), dan antologi Cerpen-cerpen Nusantara Mutakhir (Suratman Markasan [ed.]).

Chairil Anwar dilahirkan di Medan, Sumatera Utara, 26 Juli 1922, dan meninggal di Jakarta, 28 April 1949. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, sastrawan yang oleh H.B. Jassin dinobatkan sebagai Pelopor angkatan 45 dalam puisi itu,  mendirikan “Gelanggang Seniman Merdeka” (1946). Kumpulan puisi penyair yang pernah menjadi redaktur ruang budaya  Siasat “Gelanggang” dan Gema Suasana ini  adalah Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus (1949), Deru Campur Debu (1949), Tiga Menguak Takdir (1950; bersama Asrul Sani dan Rivai Apin), Aku Ini Binatang Jalang (1986), Derai-derai Cemara (1998). Karya-karya terjemahannya: Pulanglah Dia Si Anak Hilang (1948; Andre Gide), Kena Gempur (1951; John Steinbeck). Penerjemahan karya-karyanya ke dalam bahasa Inggris dan Jerman dilakukan Burton Raffel,  Chairil Anwar: Selected Poems (New York: 1963) dan The Complete Poetry  and Prose of Chairil Anwar (New York: 1970), Liaw Yock-Fang (Singapura: 1974), Walter Karwath, Feur und Asche (Wina: 1978). Karya-karya studi tentang Chairil Anwar  antara lain dilakukan oleh: S.U.S. Nababan, A Linguistic Analysis of the Poetry of Amir Hamzah and Chairil  Anwar (New York: 1976), Boen S. Oemarjati, Chairil Anwar: the Poet and His Language (Den Haag: 1972).

Chairul Harun dilahirkan Kayutanam, Sumatera Barat, Agustus 1940, dan meninggal di Padang, 19 Februari 1998. Karya-karyanya antara lain: Monumen Safari (1966) dan Warisan (1979; novel penerima hadiah Yayasan Buku Utama Departemen P & K 1979)

D. Zawawi Imron dilahirkan di Sumenep, Madura, 1946. Karya-karya penyair yang meraih Hadiah Utama dalam lomba penulisan puisi AN-Teve pada 1995 ini, antara lain: Semerbak Mayang (1977), Madura Akulah Lautmu (1978), Celurit Emas (1980), Bulan Tertusuk Ilalang (1982), Nenek Moyangku Airmata (1985; mendapat hadiah Yayasan Buku Utama Departemen P & K, 1985), Bantalku Ombak Selimutku Angin (1996), Lautmu Tak Habis Gelombang (1996), Madura Akulah Darahmu (1999).

Damiri Mahmud dilahirkan di Medan, Sumatera Utara, 1945. Karya-karyanya: Tiga Muda (1980), Aku Senantiasa Mencari (1982), Sajak-sajak Kamar (1983), Kuala (1975), Puisi (1977), Rantau (1984). Puisi-puisinya dimuat pula di Horison, Basis, Republika, dan lain-lain.

Danarto dilahirkan di Sragen, Jawa Tengah, 27 Juni 1940. Karya-karya penerima SEA Write Award 1988 ini adalah: Godlob (1975), Adam Ma`rifat (1982; meraih Hadiah Sastra Dewan Kesenian Jakarta dan Yayasan Buku Utama pada tahun yang sama),  Berhala (1987; memenangkan hadiah Yayasan Buku Utama Departemen P & K 1987), Orang Jawa Naik Haji (1984), Obrok Owok-owok, Ebrek Ewek-ewek (1976), Bel Geduwel Beh (1976), Gergasi (1993), Gerak-gerak Allah (1996), dan Asmaraloka (1999).

Darman Moenir  dilahirkan di Batusangkar, Sumatera Barat, 27 Juli 1952. Ia mengikuti International Writing Program di Iowa University, Amerika Serikat, pada 1988, dan empat tahun kemudian menerima Hadiah Sastra dari Pemerintah RI. Karya-karyanya antara lain: Gumam (1976),  Bako (1983; novel pemenang hadiah utama Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta 1980), Aku Keluargaku Tetanggaku (pemenenang kedua Sayembara  Novel Kartini 1987), Jelaga Pusaka Tinggi (1997). Karyanya yang lain dapat ditemukan pula dalam antologi Cerpen-cerpen Nusantara Mutakhir (1991; Suratman Markasan [ed.]).

Darmanto Jatman dilahirkan dilahirkan di Jakarta, 16 Agustus 1942. Karya-karyanya antara lain: Sajak-sajak Putih (1968), Ungu (1968; bersama A. Makmur Makka), Bangsat (1974), Sang Darmanto (1975), Ki Blakasuta Bla Bla (1980), Karto Iya Bilang Mboten (1981), Sastra, Psikologi, dan Masyarakat (1985), Sekitar Masalah Kebudayaan (1986), Golf untuk Rakyat (1994), Istri  (1997). Sejumlah sajaknya, bersama sejumlah sajak penyair lain seperti Abdul Hadi WM dan Sutardji Calzoum Bachri, diterjemahkan Harry Aveling dan dipublikasikan dalam Arjuna in Meditation (1976).

Djamil Suherman dilahirkan di Surabaya, Jawa Timur, 24 April 1924, dan meninggal di Bandung, 30 November 1985. Karya-karyanya berupa puisi, novel dan cerita pendek: Muara (1958; bersama Kaswanda Saleh), Manifestasi (1963), Perjalanan ke Akhirat (1963; memenangkan hadiah kedua Majalah Sastra 1962), Umi Kulsum (1983), Pejuang-pejuang Kali Pepe (1984), Sarip Tambakoso (1985), Sakerah (1985).

Ediruslan Pe Amanriza dilahirkan di Pekanbaru, Riau, 17 Agustus 1947. Kuliahnya di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung tidak ia selesaikan. Kumpulan puisinya: Surat-suratku kepada GN, Vogabon, Bukit Kawin, Wangkang. Sementara novel-novelnya: Di Bawah Matahari, Taman, Jakarta di Manakah Sri, Nakhoda (mendapat Hadiah Sayembara mengarang Roman DKJ 1977), Panggil Aku Sakai (1987) Ke Langit (1993), Koyan, Jembatan, Dikalahkan Sang Sapurba (2000). Kumpulan cerita pendeknya: Renungkanlah Markasan (1997).

Frans Nadjira dilahirkan di Makassar, 3 September 1942. Sastrawan yang juga pelukis ini pada 1979 mengikuti Iowa International Writing Program, di Iowa City, Amerika Serikat. Puisi dan cerpennya tersebar di berbagai media publikasi, antara lain di Horison, Sinar Harapan, Bali Post, AIA News (Australia), termasuk di beberapa antologi bersama Laut Biru Langit Biru, Puisi Asean, Tonggak, The Spirit That Moves Us (USA), On Foreign Shores, Teh Ginseng, A Bonsai’s Morning, dan Ketika Kata Ketika Warna. Kumpulan puisinya: Jendela dan Springs of Fire Springs of Tears, dan kumpulan cerpennya Bercakap-cakap di Bawah Guguran Daun.

Gerson Poyk dilahirkan di Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, 16 Juni 1931. Peserta angkatan pertama dari Indonesia pada International Writing Program di Iowa University Amerika Serikat ini, memenangkan Hadiah Adinegoro pada 1985 dan 1986, dan SEA Write Award pada 1989. Novel dan kumpulan cerita pendeknya, antara lain: Hari-hari Pertama (1968), Sang Guru (1971), Matias Ankari (1975), Oleng-kemoleng & Surat-surat Cinta Rajaguguk (1975), Nostalgia Nusatenggara (1976), Jerat (1978), Cumbuan Sabana (1979), Seutas Benang Cinta (1982), Giring-giring (1982), Di Bawah Matahari Bali (1982), Requiem untuk Seorang Perempuan (1983), Anak Karang (1985), Doa Perkabungan (1987), Impian Nyoman Sulastri dan Hanibal (1988), Poti Wolo (1988).

Goenawan Mohamad dilahirkan di Batang, Jawa Tengah, 29 Juli 1941. Pemimpin redaksi majalah Tempo selama 23 tahun yang juga mantan wartawan harian Kami ini dikenal luas sebagai penyair dan penulis esai yang sangat cerdas. Karya-karyanya antara lain: Pariksit (1971), Potret Penyair Muda sebagai Si Malin Kundang (1972), Interlude (1973), Seks, Sastra, Kita (1980), Catatan Pinggir (1982-91; empat jilid), Asmaradana (1992), Misalkan Kita di Sarajevo (1998). Salah seorang penanda tangan Manifes Kebudayaan ini, pada 1973 mendapat Anugerah Seni dari Pemerintah RI, dan delapan tahun kemudian meraih SEA Write Award.

Hamid Jabbar dilahirkan di Kotagadang, Sumatera Barat, 27 Juli 1949. Karya-karya penyair yang pernah menjadi wartawan Indonesia Express, Singgalang, dan redaktur Balai Pustaka ini antara lain: Paco-Paco (1974), Dua Warna (1975; bersama Upita Agustine), Wajah Kita (1981), Siapa Mau Jadi Raja,  Raja Berak Menangis, Zikrullah. Cerpennya, “Engku Datuk Yth. Di Jakarta” terpilih masuk ke dalam antologi Cerita Pendek Indonesia IV (1986; Satyagraha Hoerip [ed.]). Kumpulan puisinya terakhir: Super Hilang, Segerobak Sajak (1998; memenangkan hadiah Yayasan Buku Utama).

HAMKA dilahirkan di Maninjau, Sumatera Barat, 16 Februari 1908, dan meningal di Jakarta, 24 Juli 1981. Pernah memimpin majalah Pedoman Masyarakat, Gema Islam, Panji Masyarakat, dan hingga akhir hayatnya menjabat Ketua Majelis Ulama Indonesia. Karya-karya peraih gelar doktor kehormatan dari Universitas Al-Azhar (Mesir) ini antara lain: Di Bawah Lindungan Ka`bah (1938), Merantau ke Deli (1938), Karena Fitnah (1938), Tuan Direktur (1939), Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (1939), Keadilan Ilahi (1941), Di Dalam Lembah Kehidupan (1941), Dijemput Mamaknya (1949), Menunggu Beduk Berbunyi (1950), Kenang-kenangan Hidup I-IV (1951-52), Lembah Nikmat (1959), Cemburu (1961), Cermin Penghidupan (1962), Ayahku (1967), dan sejumlah buku filsafat, etika, dan khotbah.  

Hamsad Rangkuti dilahirkan di Titikuning, Sumatera Utara, 7 Mei 1943. Sastrawan yang hampir setiap tahun karyanya selalu masuk dalam kumpulan cerita pendek terbaik Kompas ini, hingga sekarang menjabat pemimpin redaksi majalah sastra Horison. Karya-karyanya: Lukisan Perkawinan (1982), Cemara (1982), Lampu Merah (1988; novel yang memenangkan hadiah harapan Sayembara Mengarang Roman DKJ 1980), Kereta Pagi Jam 5 (1994), dan Sampah Bulan Desember (2000).

Hartoyo Andangjaya dilahirkan di Solo, Jawa Tengah, 4 Juli 1930, dan meninggal di kota kelahirannya, 30 Agustus 1991. Karya-karya aslinya: Simphoni Puisi (1954; bersama D.S. Moeljanto), Manifestasi (1963; bersama Goenawan Mohamad, et. al.), Buku Puisi (1973), Dari Sunyi ke Bunyi (1991; kumpulan esai peraih hadiah Yayasan Buku Utama Depdikbud 1993). Karya-karya terjemahannya: Tukang Kebun (1976; Rabindranath Tagore), Kubur Terhormat bagi Pelaut (1977; Slauerhoff), Rahasia Hati (1978; Natsume Soseki), Musyawarah Burung (1983; Farid al-Din Attar), Puisi Arab Modern (1984), Kasidah Cinta (tt.; Jalal al-Din Rumi).

HS Djurtatap dilahirkan di Payakumbuh, Sumatera Barat, 2 Juni 1947.  Sejak 1974 menjadi redaktur harian Pelita Jakarta. Karya-karyanya dimuat antara lain di Horison. Dua sajaknya dimuat dalam antologi Sajak-sajak Perjuangan dan Tanah Air (1995; Oyon Sofyan [ed.]).

Husni Djamaluddin dilahirkan di Mandar, Sulawesi Selatan, 10 November 1934. Karya-karyanya: Puisi Akhir Tahun (1969), Obsesi (1970), Kau dan Aku (1973), Anu (1974), Toraja (1979), Sajak-sajak dari Makassar (1974), Bulan Luka Parah (1986), Berenang-renang ke Tepian, dan antologi Puisi ASEAN Buku III (1978).

Ibrahim Sattah dilahirkan di Pulau Tujuh, Riau Kepulauan, 1943, dan meninggal di Pekanbaru, 19 Januari 1988. Karya-karya penyair berpendidikan terakhir kelas 1 SMA dan pernah menjadi dosen Universitas Islam Riau serta Wakil Kepala Pusat Penerangan Angkatan Bersenjata RI Riau/Sumatera Barat itu terkumpul dalam: Dandandid (1975), Ibrahim (1980), dan Hai Ti (1981).

Idrus dilahirkan di Padang, Sumatera Barat, 21 September 1921, dan meninggal di kota yang sama, 18 Mei 1979. Tahun 1965–79, mengajar di Universitas Monash, Australia. Penutur fasih yang pernah menjadi redaktur majalah Kisah dan Indonesia ini dikenal sebagai pelopor penulisan prosa dalam kesusastraan Indonesia modern. Karya-karya drama, cerita pendek, novel dan terjemahannya adalah: Dokter Bisma (1945); Kejahatan Membalas Dendam (1945), Jibaku Aceh (1945), Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma (1948), Keluarga Surono (1948), Aki (1949), Perempuan dan Kebangsaan (1949), Dua Episode Masa Kecil (1952), Dengan Mata Terbuka (1961), Hati Nurani Manusia (1963), Hikayat Puteri Penelope (1973), Kereta Api Baja (1948; Vsevold Ivanov), Acoka (1948; G. Gonggrijp), Keju (1948; Willem Elschot), Perkenalan (1949; Anton Chekov, Luigi Pirandello, Guy de Maupassant, dan Jeroslav Hasek).

Idrus Tintin dilahirkan di Rengat, Riau, 10 November 1932. Ia pernah menjadi guru di SMAN II Pekanbaru dan mengasuh Sanggar Teater Bahana. Tiga kumpulan puisinya: Luput, Burung Waktu, dan Nyanyian di Lautan, Tarian di Tengah Hutan dikumpulkan kembali dalam Idrus Tintin: Seniman dari Riau Kumpulan Puisi dan Telaah (1996).

Ike Soepomo dilahirkan di Serang, Banten, 28 Agustus 1946. Menulis sejak duduk di Sekolah Menengah Pertama. Hampir seluruh novelnya telah difilmkan. Selain novel, ia menulis cerita pendek, novelet, artikel, skenario film. Karya-karyanya antara lain: Untaian yang Terberai, Anyelir Merah Jambu, Putihnya Harapan, Permata, Lembah Hijau, Malam Hening Kasih Bening, Mawar Jingga, Kembang Padang Kelabu, Kabut Sutra Ungu.  Film yang didasarkan pada karyanya yang paling populer, Kabut Sutra Ungu, meraih beberapa piala “Citra” serta penghargaan Festival Film Asia di Bali. Sedangkan beberapa skenario film yang ditulisnya adalah: Hati Selembut Salju, Mawar Jingga, Hilangnya Sebuah Mahkota. 

Iwan Simatupang dilahirkan di Sibolga, Sumatera Utara, 18 Januari 1928, dan meninggal di Jakarta, 4 Agustus 1970. Sastrawan yang pernah memperdalam antropologi dan filsafat di Belanda dan Perancis serta sempat meredakturi Siasat dan Warta Harian. Ia dikenal dengan novel-novelnya yang mengusung semangat eksistensialisme: Merahnya Merah (1968), Kooong (1975; mendapat hadiah Yayasan Buku Utama Departemen P dan K, 1975), Ziarah (1969), Kering (1972). Dua novel yang disebut terakhir diterjemahkan Harry Aveling ke dalam bahasa Inggris. Cerpen-cerpennya dikumpulkan dalam Tegak Lurus dengan Langit (1982), sedangkan puisi-puisinya dalam Ziarah Malam (1993).

J.E. Tatengkeng dilahirkan di Sangir-Talaud, Sulawesi Utara, 19 Oktober 1907, dan meninggal di Ujungpandang, 6 Maret 1968. Karya masyhur salah seorang pendiri Universitas Hasanuddin dan pernah menjabat Perdana Menteri NTT di tahun 1949 ini adalah Rindu Dendam (1934).

Kirdjomuljo dilahirkan di Yogyakarta, 1930, dan meninggal di kota kelahirannya, 19 Januari 2000. Karya-karyanya yang sudah diterbitkan: Romance Perjalanan I (1955), Nona Maryam (1955), Penggali Kapur (1956), Penggali Intan (1957), Dari Lembah Pualam (1967), Di Saat Rambutnya Terurai (1968), Cahaya di Mata Emi (1968), Romansa Perjalanan (1976). Karya-karyanya dapat ditemukan pula dalam Tugu (1986) dan Tonggak 2 (1987),  keduanya dieditori Linus Suryadi AG.

Korrie Layun Rampan dilahirkan di Samarinda, Kalimantan Timur, 17 Agustus 1953. Pernah bekerja sebagai direktur keuangan merangkap redaktur pelaksana majalah Sarinah. Karya-karyanya tersebar di berbagai antologi, majalah dan surat kabar. Selain menerjemahkan karya-karya sastrawan dunia, ia juga telah menulis sekitar 100 judul buku cerita anak-anak. Karya-karya pentingnya antara lain: Matahari Pingsan di Ubun-ubun (1976), Upacara (1978; novel pemenang Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta 1976), Cuaca di Atas Gunung dan Lembah (1985; meraih hadiah Yayasan Buku Utama Departemen P & K 1985), Pembicaraan Puisi Indonesia (6 jilid), Api Awan Asap (1999), Perawan (2000), Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia (2000), Leksikon Susastra Indonesia (2000).

Kuntowijoyo dilahirkan di Bantul, Yogyakarta, 18 September 1943. Di tahun 1974 meraih MA  dari Universitas Connecticut, dan enam tahun kemudian Ph.D. dari  Universitas Columbia, keduanya di Amerika Serikat. Dikenal sebagai sejarawan, novelis, penulis cerpen, esais, dan penyair. Karya-karyanya  antara lain: Kereta Api yang Berangkat Pagi Hari (1966), Rumput-rumput Danau Bento (1969), Tidak Ada Waktu bagi Nyonya Fatma (1972), Barda dan Cartas (1972), Topeng Kayu (1973; mendapat hadiah kedua Sayembara Penulisan Lakon DKJ 1973), Isyarat (1976), Suluk Awang Uwung (1976), Khotbah di Atas Bukit (1976), Dinamika Umat Islam Indonesia (1985), Budaya dan Masyarakat (1987), Paradigma Islam, Interpretasi untuk Aksi (1991), Radikalisasi Petani (1993), Dilarang Mencintai Bunga-bunga (1993), Pasar (1995). Kedua cerpennya dijadikan dua judul buku antologi cerpen penting: Laki-laki yang Kawin dengan Peri dan Sampan Asmara (masing-masing cerpen terbaik harian Kompas 1994 dan 1995).

Leon Agusta dilahirkan di Sangiran, Maninjau, Sumatera Barat, 5 Agustus 1938. Karya-karyanya: Monumen Safari (1966), Catatan Putih (1976), Di Bawah Bayangan Sang Kekasih (1978), Hukla (1979), Berkemah dengan Putri Bangau (1981), Hedona dan Masochi (1984).

LK Ara lahir di Takengon, Aceh, 1937. Karya-karyanya: Angin Laut Tawar (1969), Saefuddin Kadir Tokoh Drama Gayo (1971), Serangkum Saer Gayo (1980), Namaku Bunga (1980), Anggrek Berbunga (1982), dan lain-lain. Bersama Taufiq Ismail menyunting Antologi Sastra Aceh, Seulawah (1995).

M. Fudoli Zaini dilahirkan di Sumenep, Madura, 8 Juni 1942. Meraih M.A. dan Ph. D. di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Karya-karyanya: Lagu dari Jalanan (1982), Potret Manusia (1983), Kota Kelahiran (1985; memenangkan hadiah Yayasan Buku Utama Departemen P & K, 1985), Arafah (1985), Batu-batu Setan (1994). Cerita pendeknya terdapat pula dalam Antologi Angkatan 66: Prosa dan Puisi (1968; H.B. Jassin [ed.]), Laut Biru Langit Biru (1977; Ajip Rosidi [ed.]).

M. Saribi Afn dilahirkan di Klaten, Jawa Tengah, 15 Desember 1936. Ia pernah menjadi redaktur majalah Konfrontasi, Gema Islam, Panji Masyarakat, harian Abadi. Sajaknya, “Hari Ini adalah Hari yang Penuh dengan Rahmat  dan Ampunan”, meraih hadiah majalah Sastra (1962).  Karya-karyanya terkumpul dalam Gema Lembah Cahaya (1962), Manifestasi (1963; [ed.]), dan diangkat pula ke dalam Angkatan 66: Prosa dan Puisi (1968; H.B. Jassin [ed.]) dan Tonggak 2 (1987; Linus Suryadi AG [ed.]).

Mansur Samin dilahirkan di Batangtoru, Sumatera Utara, 29 April 1930. Ia banyak menulis drama dan cerita anak-anak. Karya-karyanya: Perlawanan (1966), Kebinasaan Negeri Senja (1968), Tanah Air (1969), Dendang Kabut Senja (1988), Sajak-sajak Putih (1996), Sontanglelo (1996), Srabara (1996). Ia juga banyak menulis cerita anak-anak, yaitu: Hadiah Alam, Hidup adalah Kerja, Kesukaran Terkalahkan, Percik Air Batang Toru, Warna dan Kasih, dan Urip yang Tabah.

Marah Rusli dilahirkan di Padang, Sumatera Barat, 7 Agustus 1889, dan meningal di Bandung, 17 Januari 1968. Novelnya yang masyhur, Sitti Nurbaya hingga 1996 telah 22 kali dicetak ulang. Karya-karyanya yang lain: La Hami (1952), Anak dan Kemenakan (1956), otobiografi Memang Jodoh, dan novel terjemahan Gadis yang Malang (1922; Charles Dickens).

Mochtar Lubis dilahirkan di Padang, Sumatera Barat, 7 Maret 1922.  Mantan wartawan LKBN Antara ini memimpin harian Indonesia Raya sejak 1951 hingga koran tersebut dilarang terbit pada 1974. Karena tulisan-tulisannya di surat kabar itu pula, selama sepuluh tahun (1956-66) ia ditahan Pemerintah Orde Lama. Sejak 1966, ia memimpin majalah sastra Horison. Ketua Yayasan Indonesia ini adalah penerima Penghargaan Magsaysay dari Pemerintah Filipina (1958), Pena Emas dari World Federation of Editor and Publisher (1967), dan Hadiah Sastra Chairil Anwar (1992) dari Dewan Kesenian Jakarta. Kumpulan cerita pendek dan novel-novelnya adalah: Si Jamal dan Cerita-cerita Lain (1951), Perempuan (1956; mendapat Hadiah Sastra Nasional BMKN 1955-56), Kuli Kontrak (1982), Bromocorah (1983), Tak Ada Esok (1951), Jalan Tak Ada Ujung (1952; memperoleh Hadiah Sastra Nasional BMKN 1952), Tanah Gersang (1966), Senja di Jakarta (1970), Harimau! Harimau! (1975; mendapat hadiah Yayasan Buku Utama Departemen P & K 1975), Maut dan Cinta (1977). Karya-karya terjemahannya: Tiga Cerita dari Negeri Dolar (1950; John Steinbeck, Upton Sinclair, John Russel), Orang Kaya (1950; F. Scott Fitzgerald), Yakin (1950; Irwin Shaw), Kisah-kisah dari Eropah (1952), dan Cerita dari Tiongkok (1953).

Mohammad Diponegoro dilahirkan di Yogyakarta, 28 Juni 1928, dan meninggal di kota yang sama, 9 Mei 1982. Karya-karya pendiri dan pemimpin Teater Muslim yang pernah menjadi Wakil Pimpinan Umum/Wakil Pemimpin Redaksi Suara Muhammadiyah (1975-82) ini antara lain: Surat pada Gubernur, Kabar Wigati dan Kerajaan (1977), Duta Islam untuk Dunia Modern (1983; bersama Ahmad Syafii Maarif), Iblis (1983), Percik-percik Pemikiran Iqbal (1983), Siasat (1984), Yuk, Nulis Cerpen, Yuk (1985), Odah dan Cerita Lainnya, dan antologi puisi Manifestasi (1963).

Motinggo Busye dilahirkan di Kupangkota, Lampung, 21 November 1937, dan meninggal di Jakarta, 18 Juni 1999. Menulis banyak novel, menyutradarai film, dan melukis. Karya-karyanya antara lain: drama Malam Jahanam (1958; memenangkan hadiah pertama Sayembara Penulisan Drama Departemen P & K 1958), novel Malam Jahanam (1962), Badai Sampai Sore (1962), Tidak Menyerah (1962), Keberanian Manusia (1962), 1949 (1963), Bibi Marsiti (1963), Hari Ini Tidak Ada Cinta (1963), Perempuan Itu Bernama Barabah (1963), Dosa Kita Semua (1963), Tiada Belas Kasihan (1963), Nyonya dan Nyonya (1963), Sejuta Matahari (1963), Matahari dalam Kelam (1963), Nasehat untuk Anakku (1963), Malam Pengantin di Bukit Kera (1963), Cross Mama (1966), Tante Maryati (1967), Sri Ayati (1968), Retno Lestari (1968), Dia Musuh Keluarga (1968), Madu Prahara (1985). Cerita pendeknya, “Dua Tengkorak Kepala”, terpilih sebagai cerpen terbaik Kompas dan dipublikasikan dalam kumpulan cerita pendek berjudul sama (2000).

Muhammad Ali dilahirkan di Surabaya, Jawa Timur, 23 April 1927, dan meninggal di kota itu juga, 2 Juni 1998. Menulis sejak 1942. Tulisan-tulisannya terdiri dari novel, cerita pendek, puisi, drama. Karya-karyanya yang telah diterbitkan antara lain: 5 Tragedi (1952), Kubur Tak Bertanda (1953), Siksa dan Bayangan (1954), Di Bawah Naungan Al-Qur`an (1957), Hitam Atas Putih (1959), Si Gila (1969), Kembali kepada Fitrah (1969), Qiamat (1971), Bintang Dini (1975), Buku Harian Seorang Penganggur (1976), Nyanyian Burdah (1980), Teknik Penghayatan Puisi (1983). 

Muhammad Yamin dilahirkan di Sawahlunto, Sumatera Barat, 23 Agustus 1903, dan meninggal di Jakarta, 17 Oktober 1962. Menulis (dan menerjemahkan) karya sastra dan sejarah dalam berbagai bentuk: puisi, drama, biografi. Antara lain: Tanah Air (1922), Indonesia Tumpah Darahku (1928), Kalau Dewi Tara  Sudah Berkata (1932), Ken Arok dan Ken Dedes (1934), Gajah Mada Pahlawan Persatuan Nusantara (1945), Menantikan Surat dari Raja (1928; Rabindranath Tagore), Di Dalam dan di Luar Lingkungan Rumah Tangga (1933), Pangeran Dipanegara (1950), Lukisan Revolusi (1950), Julius Caesar (1951; William Shakespeare). Puisi-puisi penyair yang memperkenalkan soneta ke dalam khasanah puisi Indonesia ini dapat ditemukan pula dalam Antologi Pujangga Baru: Prosa dan Puisi (1963; H.B. Jassin [ed.]), Tonggak (1987; Linus Suryadi AG [ed.]).

Mustofa Bisri dilahirkan di Rembang, 10 Agustus 1944. Sering menggunakan nama samaran M. Ustov Abi Sri. Lulusan Universitas Al-Azhar (Kairo, Mesir) ini kerap mengikuti forum baca puisi, termasuk di Festival Mirbid X di Irak. Karya-karyanya dimuat dalam sejumlah antologi puisi bersama, antara lain: Puisi Syukuran Tutup Tahun 1989; Bosnia Kita; Parade Puisi Indonesia; Antologi Puisi Jawa Tengah. Kumpulan puisi tunggalnya adalah: Ohoi; Tadarus; dan Pahlawan dan Tikus.

N. Riantiarno dilahirkan di Cirebon, Jawa Barat, 6 Juni 1949. Peserta International Writing Program di Iowa University, Amerika Serikat, pada 1978 yang dikenal pula sebagai pendiri dan pemimpin Teater Koma ini, membidani kelahiran majalah Zaman dan terakhir memimpin majalah Matra. Karya-karyanya antara lain Opera Kecoa, Ranjang Bayi dan Percintaan Senja (kedua novel yang disebut terakhir masing-masing memenangkan sayembara majalah Femina dan Kartini), Semar Gugat (1995), Cinta Yang Serakah (1978).

Nasjah Djamin dilahirkan di Perbaungan, Sumatera Utara, 24 Desember 1924, dan meninggal di Yogyakarta, 4 September 1997.  Penerima Anugerah Seni Pemerinta RI di tahun 1970 yang sebelum menjadi redaktur Budaya dan bekerja di Bagian Kesenian Departemen P & K di Yogyakarta, hingga pensiunnya,  pernah ikut mendirikan Angkatan Seni Rupa di Medan (1945) dan Gabungan Pelukis Indonesia di Jakarta (1948). Karya-karyanya antara lain: Titik-titik Hitam (1956), Sekelumit Nyanyian Sunda (1958; memenangan Hadiah Sastra nasional BMKN 1957-58), Hilanglah si Anak Hilang (1963), Helai-helai Sakura Gugur (1964), Gairah untuk Hidup dan untuk Mati (1968), Dan Senja Pun Turun (1982), Ombak Parangtritis (1983; mendapat Hadiah Yayasan Buku Utama Departemen P & K 1983), Bukit Harapan (1984; pemenang hadiah Sayembara Mengarang Roman DKJ 1980).

Nh. Dini dilahirkan di Semarang, Jawa Tengah, 29 Februari 1936. Karya-karyanya: Dua Dunia (1956), Hati yang Damai (1961), Pada Sebuah Kapal (1973), La Barka (1975), Keberangkatan (1977), Namaku Hiroko (1977), Sebuah Lorong di Kotaku (1978), Padang Ilalang di Belakang Rumah (1979), Langit dan Bumi Sahabat Kami (1979), Sekayu (1981), Amir Hamzah Pangeran dari Seberang (1981), Kuncup Berseri (1982), Tuileries (1982), Segi dan Garis (1983), Orang-orang Tran (1985), Pertemuan Dua Hati (1986), Jalan Bandungan (1989), Liar (1989; perubahan judul kumpulan cerita pendek Dua Dunia), Istri Konsul (1989), Tirai Menurun (1995), Panggilan Dharma Seorang Bhikku Riwayat Hidup Saddhamma Kovida Vicitta Bhanaka Girirakkhitto Mahathera (1996), Kemayoran (2000).

Nugroho Notosusanto dilahirkan di Rembang, Jawa Tengah 15 Juli 1931, dan meninggal di Jakarta, 2 Juni 1985. Karya-karya sastrawan dan sejarawan yang pernah menjabat Rektor Universitas Indonesia (1982-85) dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI (1983-85) ini antara lain: Hujan Kepagian (1958), Tiga Kota (1959), Rasa Sayang (1961), Hijau Tanahku Hijau Bajuku (1963), Norma-norma dasar Penelitian Sejarah Kontemporer (1978), Tentara Peta pada Zaman Pendudukan Jepang (1979), Sejarah dan Sejarawan, Tercapainya Konsesus Nasional 1966-1969 (1985), Sejarah Nasional Indonesa I-IV (bersama Marwati Djoened Poesponegoro), dan sejumlah karya terjemahan. 

Nur Sutan Iskandar dilahirkan di Maninjau, Sumatera Barat, 3 November 1893, dan meninggal di Jakarta, 28 November 1975. Menulis novel Apa Dayaku karena Aku Perempuan (1922),  Karam dalam Gelombang Percintaan (1924; ditulis bersama Abd. Ager). Cinta yang Membawa Maut (1926; ditulis bersama Abd. Ager), Salah Pilih (1928), Karena Mentua (1932), Tuba Dibalas dengan Air Susu (1933; ditulis bersama Asmaradewi); Hulubalang Raja (1934), Katak Hendak Menjadi Lembu (1935), Dewi Rimba (1935; ditulis bersama M. Dahlan), Neraka Dunia (1937), Cinta dan Kewajiban (1940; ditulis bersama L. Wairata), Cinta Tanah Air (1944), Mutiara (1946), Cobaan (1946), Jangir Bali (1946), Pengalaman Masa Kecil (1949), dan Turun ke Desa (1949).  Ia pun menerjemahkan sejumlah karya sastra dunia, yaitu: Tiga Panglima Perang (1925; Alexander Dumas), Belut Kena Ranjau (1925; Baronese Orczy), Anjing Setan (1928; A. Conan Doyle), Graaf de Monte Cristo (1929; 6 jilid, Alexander Dumas), Anak Perawan di Jalan Sunyi dan Rahasia Seorang Gadis (1929; A. Conan Doyle, diterjemahkan bersama K. St. Pamoentjak), Gudang Intan Nabi Sulaiman (1929; H. Rider Haggard), Memperebutkan Pusaka Lama (1932; Edward Keyzer), Iman dan Pengasihan (1933; Henryk Sienkiewicz), dan Cinta dan Mata (tt; Rabindranath Tagore).

Piek Ardijanto Soeprijadi dilahirkan di Magetan, Jawa Timur, 12 Agustus 1929. Karya-karya penyair yang mengabdikan sebagian besar usianya sebagai seorang guru ini antara lain: Burung-burung di Ladang (1983), Percakapan Cucu dengan Neneknya (1983), Desaku Sayang (1983), Lagu Bening dari Rawa Pening (1984; mendapat Hadiah Yayasan Buku Utama Departemen P & K 1984), Menyambut Hari Sumpah Pemuda (1984), Lelaki di Pinggang Bukit (1984), Nelayan dan Laut (1995), Biarkan Angin Itu (1996). Selain itu, dimuat pula dalam antologi Angkatan 66: Prosa dan Puisi (1968; H.B. Jassin [ed.]), Tonggak 2 (1987; Linus Suryadi AG [ed.]).

Pramudya Ananta Toer dilahirkan di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925. Novelis Indonesia paling produktif dan terkemuka yang pernah meredakturi ruang kebudayaan “Lentera” Harian Rakyat (1962-65) dan dosen di Universitas Res Publica Jakarta ini, setelah peristiwa G30S/PKI ditahan di Jakarta dan Pulau Buru sebelum akhirnya dibebaskan pada 1979. Karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, antara lain: Inggris, Perancis, Jerman, Rusia, Jepang. Novel-novelnya yang telah diterbitkan: Kranji-Bekasi Jatuh (1947), Perburuan (1950; pemenang Hadiah Pertama Sayembara Balai Pustaka 1949), Keluarga Gerilya (1950), Mereka yang Dilumpuhkan (1951), Bukan Pasar Malam (1951), Di Tepi Kali Bekasi (1951), Gulat di Jakarta (1953), Maidah, Si Manis Bergigi Emas (1954), Korupsi (1954), Suatu Peristiwa di Banten Selatan (1958; menerima Hadiah Sastra Yayasan Yamin 1964, dan ditolak pengarangnya),  Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1980), Jejak Langkah (1985), Gadis Pantai (1985), Rumah Kaca (1987), Arus Balik (1995), Arok Dedes (1999). Cerita-cerita pendeknya dikumpulkan dalam: Subuh (1950), Percikan Revolusi (1950), Cerita dari Blora (1952; memperoleh Hadiah Sastra Nasional BMKN 1952), Cerita dari Jakarta (1957; meraih Hadiah Sastra Nasional BMKN 1957-58, dan ditolak oleh penulisnya). Sedangkan karya-karya terjemahannya antara lain: Tikus dan Manusia (1950; John Steinbeck), Kembali kepada Cinta Kasihmu (1950; Leo Tolstoy), Perjalanan Ziarah yang Aneh (1956; Leo Tolstoy), Kisah Seorang Prajurit Soviet (1956; Mikhail Solokhov), Ibu (1956; Maxim Gorky), Asmara dari Rusia (1959; Alexander Kuprin), Manusia Sejati (1959; Boris Pasternak). Selain itu, ia juga menulis memoar, esai, dan biografi. 

Putu Wijaya dilahirkan di Tabanan, Bali, 11 April 1944. Karya-karya dramawan dan penulis cerita pendek paling produktif di Indonesia yang atas undangan Fulbright pernah mengajar di Amerika Serikat antara 1985-89 antara lain: Telegram (1972; novel yang memenangkan hadiah Sayembara Mengarang Roman DKJ 1971), Stasiun (1977; novel pemenang hadiah Sayembara Mengarang Roman DKJ 1971), Dar-Der-Dor (1996), Aus (1996), Zigzag (1996), Tidak (1999). Sejumlah karyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Belanda, Rusia, Perancis, Jerman, Jepang, Arab, dan Thailand. Pada tahun 1991, atas prestasi dan pencapaiannya dalam bidang kebudayaan, ia menerima Anugerah Seni dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Rahim Qahhar dilahirkan di Medan, Sumatera Utara, 29 Juni 1943. Menulis puisi, cerita pendek, drama, novel, dan skenario televisi. Karya-karyanya: Mabukku pada Bali (1983), Abraham ya Abraham (1984), Langit Kirmizi (1987; terbit di Malaysia), Melati Merah (1988; terbit di Malaysia), Sajak Buat Saddam Husein (1991). Selain itu, karyanya dimuat pula dalam sejumlah antologi penting, antara lain: Cerpen-cerpen Nusantara Mutakhir (1991; Suratman Markasan [ed.]).

Ramadhan KH dilahirkan di Bandung, Jawa Barat, 16 Maret 1927. Mantan redaktur majalah Kisah, Siasat Baru, dan Budaya Jaya yang banyak menulis buku biografi dan pernah lama mukim di luar negeri ini adalah penulis kumpulan puisi Priangan si Jelita (1958; memenangkan Hadiah Sastra Nasional BMKN 1957-58), dan novel-novel Kemelut Hidup (1976; pemenang Sayembara Mengarang Roman DKJ 1974), Keluarga Permana (1978; pemenang Sayembara Mengarang Roman DKJ 1976). Novelnya yang lain, Ladang Perminus, membawa pengarang ini ke Thailand, menerima SEA Write Award 1993.

Rayani Sriwidodo dilahirkan di Kotanopan, Sumatera Utara 6 November 1946. Cerpennya “Balada Satu Kuntum” memperoleh penghargaan Nemis Prize dari Pemerintah Chile (1987). Karya-karya alumna Iowa Writing Program, Iowa University, Amerika Serikat ini antara lain: Pada Sebuah Lorong (1968; bersama Todung Mulya Lubis), Kereta Pun Terus Berlalu, Percakapan Rumput, Percakapan Hawa dan Maria (1989), Balada Satu Kuntum (1994), Sembilan Kerlip Cermin (2000).

Rendra dilahirkan di Solo, Jawa Tengah, 7 November 1935. Sepulang memperdalam pengetahuan drama di American Academy of Dramatical Arts, ia mendirikan Bengkel Teater. Sajak-sajaknya mulai dikenal luas sejak tahun 1950-an. Antara April-Oktober 1978 ditahan Pemerintah Orde Baru karena pembacaan sajak-sajak protes sosialnya di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Kumpulan puisinya: Balada Orang Tercinta (1956; meraih Hadiah Sastra Nasional BMKN 1955-56), Empat Kumpulan Sajak (1961), Blues untuk Bonnie (1971), Sajak-sajak Sepatu Tua (1972), Potret Pembangunan dalam Puisi (1983), Disebabkan oleh Angin (1993), Orang-orang Rangkasbitung (1993), Perjalanan Bu Aminah (1997), Mencari Bapak (1997). Buku-buku puisinya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, yaitu: Indonesian Poet in New York (1971; diterjemahkan Harry Aveling, et.al.), Rendra: Ballads and Blues (1974; Harry Aveling, et.al.), Contemporary Indonesian Poetry (1975; diterjemahkan Harry Aveling). Ia pun menerjemahkan karya-karya drama klasik dunia, yaitu: Oidipus Sang Raja (1976), Oidipus di Kolonus (1976), Antigone (1976), ketiganya karya Sophocles, Informan (1968; Bertolt Brecht), SLA (1970; Arnold Pearl). Pada 1970, Pemerintah RI memberinya Anugerah Seni, dan lima tahun setelah itu, ia memperoleh penghargaan dari Akademi Jakarta.

Rusli Marzuki Saria dilahirkan di Bukittinggi, Sumatera Barat, 26 Februari 1936. Karya-karyanya: Pada Hari Ini pada Jantung Hari (1966), Monumen Safari (1966; dengan Leon Agusta), Ada Ratap Ada Nyanyi (1976), Sendiri-sendiri Sebaris-sebaris dan Sajak-sajak Bulan Februari (1976), Tema-tema Kecil (1979), Sembilu Darah (1995), Parewa, Sajak dalam Lima Kumpulan (1988). Manuskrip esainya: Monolog dalam Renungan.

Rustam Effendi dilahirkan di Padang, 13 Mei 1903, dan meninggal di Jakarta, 24 Mei 1979. Bebasari yang ditulisnya pada 1926 merupakan drama bentuk baru dalam sastra Indonesia. Selain itu ia menulis kumpulan puisi Percik Permenungan (1926) dan Van Moskow naar Tiflis (tt.)

Saini K.M. dilahirkan di Sumedang, Jawa Barat, 16 Juni 1938. Penyair yang bertahun-tahun mengasuh rubrik “Pertemuan Kecil” di Pikiran Rakyat Bandung ini terakhir menjabat Direktur Jenderal Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. Sejumlah penyair yang lahir dan berkembang dari kelembutan dan ketajaman kritiknya di “Pertemuan Kecil” antara lain: Sanento Yuliman, Acep Zamzam Noor, Agus R. Sarjono, Soni Farid Maulana, Beni Setia, Cecep Syamsul Hari. Karya-karyanya meliputi puisi, karya sastra drama, dan esai, di antaranya: Pangeran Sunten Jaya (1973), Ben Go Tun (1977), Egon (1978), Serikat Kaca Mata Hitam (1979), Sang Prabu (1981), Kerajaan Burung (1980; pemenang Sayembara Direktorat Kesenian Depdikbud), Sebuah Rumah di Argentina (1980), Pangeran Geusan Ulun (1963), Nyanyian Tanah Air (1968), Puragabaya (1976), Siapa Bilang Saya Godot (1977), Restoran Anjing (1979), Rumah Cermin (1979), Beberapa Gagasan Teater (1981), Panji Koming (1984), Beberapa Dramawan dan Karyanya (1985), Ken Arok (185), Apresiasi Kesusastraan (1986; bersama Jakob Sumardjo [ed.]), Protes Sosial dalam Sastra (1986), Teater Modern Indonesia dan Beberapa Masalahnya (1987), Sepuluh Orang Utusan (1989), Puisi dan Beberapa Masalahnya (1993; Agus R. Sarjono [ed.]). Buku terakhirnya yang merupakan seleksi dari seluruh kumpulan puisinya yang sudah maupun yang belum dipublikasikan adalah Nyanyian Tanah Air (2000).

Sanento Yuliman dilahirkan di Banyumas, Jawa Tengah, 14 Juli 1941, dan meninggal di Bandung, 14 Juli 1992. Pada 1981 menyelesaikan program doktoralnya di Ecole de Hautes Etudes en Science Sociale, Paris, Perancis. Penyair yang juga dikenal sebagai penulis esai dan kritikus seni rupa yang disegani ini pernah menjadi redaktur Mahasiswa Indonesia, majalah sastra Horison (1971-73), dan Aktuil, khususnya untuk ruang “Puisi Mbeling”.  Puisi-puisinya diangkat Ajip Rosidi ke dalam Laut Biru Langit Baru (1977). Karya-karyanya antara lain: Seni Rupa Indonesia (1976), G. Sidharta di Tengah Seni Rupa Indonesia (1981; bersama Jim Supangkat).

Sanusi Pane dilahirkan di Muara Sipongi, Sumatera Utara, 14 November 1905, dan meninggal di Jakarta, 2 Januari 1968.  Antara tahun 1931-41, pernah menjadi redaktur di majalah Timbul, harian Kebangunan, dan Balai Pustaka. Karya-karyanya meliputi puisi, drama, sejarah, dan terjemahan: Pancaran Cinta (1926), Puspa Mega (1927), Airlangga (1928), Burung Garuda Terbang Sendiri (1929), Madah Kelana (1931), Kertajaya (1932), Sandyakalaning Majapahit (1933), Manusia Baru (1940), Sejarah Indonesia (1942), Indonesia Sepanjang Masa (1952), Bunga Rampai dari Hikayat Lama (1946; terjemahan dari bahasa Kawi), Arjuna Wiwaha (1940; Mpu Kanwa, diterjemahkan dari bahasa Kawi), Gamelan Jiwa (1960).

Sapardi Djoko Damono dilahirkan di Solo, Jawa Tengah, 20 Maret 1940. Puisi-puisi pengajar di Fakultas Sastra Universitas Indonesia sejak 1975 dan pernah aktif sebagai redaktur majalah sastra-budaya Basis, Horison, Kalam, Tenggara (Malaysia) ini adalah: Duka-Mu Abadi (1969), Mata Pisau (1974), Perahu Kertas (1983; mendapat Hadiah sastra DKJ 1983), Sihir Hujan (1984; pemenang hadiah pertama Puisi Putera II Malaysia 1983), Hujan Bulan Juni (1994), Arloji (1998), Ayat-ayat Api (2000). Sedangkan karya-karya sastra dunia yang diterjemahkannya: Lelaki Tua dan Laut (1973; Ernest Hemingway), Sepilihan Sajak George Seferis (1975), Puisi Klasik Cina (1976), Lirik Klasik Parsi (1977), Afrika yang Resah (1988; Okot p’Bitek).

Satyagraha Hoerip dilahirkan  di Lamongan, Jawa Timur, 7 April 1934, dan meninggal di Jakarta, 14 Oktober 1998.  Tahun 1972-73, ia mengikuti International Writing Program di Iowa University, Amerika Serikat, dan pernah menjadi dosen tamu di universitas-universitas di Amerika dan Jepang. Karya-karyanya antara lain: Bisma Baneng Mayapada (1960), Sepasang Suami Isteri (1964), Antologi Esai tentang Persoalan Sastra (1969), Cerita Pendek Indonesia 1-3 (1979), Jakarta: 30 Cerita Pendek Indonesia 1-3 (1982), Palupi (1970), Keperluan Hidup Manusia (1963; terjemahan dari Leo Tolstoy), Tentang Delapan Orang (1980), Sesudah Bersih Desa  (1990), Sarinah Kembang Cikembang (1993).

Selasih dilahirkan di Talu, Sumatera Barat, 31 Juli 1909, dam meninggal pada usia 86 tahun. Sastrawan yang pernah menjadi Ketua Jong Islamieten Bond Bukittingi (1928-30) dikenal pula sebagai Sariamin atau Seleguri. Karya-karyanya: Kalau Tak Untung (1933), Pengaruh Keadaan (1937), Rangkaian Sastra (1952), Panca Juara (1981), Nakhoda Lancang (1982), Cerita Kak Mursi, Kembali ke Pangkuan Ayah (1986), dan dimuat pula dalam Puisi Baru (1946; Sutan Takdir Alisjahbana [ed.]), Seserpih Pinang Sepucuk Sirih (1979; Toeti Heraty [ed.]), Ungu: Antologi Puisi Wanita Penyair Indonesia (Korrie Layun Rampan [ed.]).

Seno Gumira Ajidarma dilahirkan di Boston, Amerika Serikat, 19 Juni 1958. Karya-karya penulis cerita pendek yang sejak 1985 bekerja di majalah Jakarta Jakarta ini antara lain: Mati Mati Mati (1978), Bayi Mati (1978), Catatan Mira Sato (1978), Manusia Kamar (1978), Penembak Misterius (1993), Saksi Mata (1994; kumpulan cerita pendek terbaik versi Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud RI 1994), Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi (1995), Negeri Kabut (1996), Jazz, Parfum, dan Insiden (1992). Cerpennya, “Pelajaran Mengarang”, dipilih sebagai cerpen terbaik Kompas 1992, dan cerpen-cerpennya yang lain hampir setiap tahun terpilih masuk dalam antologi cerpen terbaik surat kabar itu. Pada 1995 ia memperoleh penghargaan SEA Write Award.

Slamet Sukirnanto dilahirkan di Solo, Jawa Tengah, 3 Maret 1941. Karya-karya penyair yang mantan Ketua Presidium KAMI pusat ini adalah: Jaket Kuning (1967), Kidung Putih (1967), Sumur Tanpa Dasar (1971), Kasir Kita (1972), Pemberang (1972), Tengul (1973), Orkes Madun (1974), Gema Otak Terbanting (1974), Bunga Batu (1979), Catatan Suasana (1982), dan Luka Bunga (1993).

SN Ratmana dilahirkan di Kuningan, Jawa Barat, 6 Maret 1936. Tulisan-tulisannya dimuat di Sastra, Horison, Kompas, dan lain-lain. Karya-karyanya yang sudah dibukukan: Sungai, Suara, dan Luka (1981), Asap itu Masih Mengepul (1977). Karyanya  dimuat pula dalam antologi cerpen pemenang Sayembara Kincir Emas Radio Nederland Wereldomroep, Dari Jodoh sampai Supiyah (1975).

Sori Siregar dilahirkan di Medan, Sumatera Utara, 12 November 1939. Ia mengikuti International Writing Program di Iowa University, Amerika Serikat pada 1970-71, dan pernah bekerja antara lain di BBC London, Radio Suara Malaysia, Matra, Forum Keadilan. Karya-karyanya: Dosa atas Manusia (1967), Pemburu dan Harimau (1972), Senja (1979), Wanita Itu adalah Ibu (1979; novel pemenang hadiah perangsang kreasi Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta 1978), Di Atara Seribu Warna (1980), Susan (1981), Awal Musim Gugur (1981), Reuni (1982), Telepon (1982; pemenang hadiah harapan Sayembara Mengarang Roman DKJ 1979); Penjara (1992), Titik Temu (1996). Di samping itu ia banyak menerjemahkan karya sastra asing ke dalam bahasa Indonesia, baik novel, cerita pendek, maupun drama.

Subagio Sastrowardoyo dilahirkan di Madiun, Jawa Timur, 1 Februari 1924, dan meninggal di Jakarta, 18 Juli 1995. Peraih M.A. dari Departement of Comparative Literature, Yale University, Amerika Serikat ini pernah mengajar di beberapa sekolah menengah di Yogyakarta, Fakultas Sastra UGM, SESKOAD Bandung, Salisbury Teachers College, dan Flinders University, Australia. Cerpennya, “Kejantanan di Sumbing” dan puisinya, “Dan Kematian Makin Akrab”, masing-masing meraih penghargaan majalah Kisah dan Horison. Kumpulan puisinya, Daerah Perbatasan membawanya menerima Anugerah Seni dari Pemerintah RI (1971), sementara Sastra Hindia Belanda dan Kita mendapat Hadiah Sastra dari Dewan Kesenian Jakarta, dan bukunya yang lain, Simfoni Dua, mengantarkannya ke Kerajaan Thailand, menerima Anugerah SEA Write Award. Karya-karyanya yang berupa puisi, esai, dan kritik, diterbitkan dalam: Simphoni (1957), Kejantanan di Sumbing (1965), Daerah Perbatasan (1970), Bakat Alam dan Intelektualisme (1972), Keroncong Motinggo (1975), Buku Harian (1979), Sosok Pribadi dalam Sajak (1980), Hari dan Hara (1979), Sastra Hindia Belanda dan Kita (1983), Pengarang Modern sebagai Manusia Perbatasan (1992), Dan Kematian Makin Akrab (1995).

Sutan Takdir Alisjahbana dilahirkan di Natal, Sumatera Utara, 11 Februari 1908, dan meninggal di Jakarta, 17 Juli 1994. Penerima gelar doktor kehormatan dari Universitas Indonesia dan Universitas Sains Penang (Malaysia) ini pernah menjadi redaktur Panji Pustaka dan Balai Pustaka. Ia pendiri serta pengelola majalah Pujangga Baru. Karya-karya guru besar dan anggota berbagai organisasi keilmuan di dalam dan luar negeri ini antara lain: Tak Putus Dirundung Malang (1929), Dian yang Tak Kunjung Padam (1932), Tebaran Mega (1935), Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia (1936), Layar Terkembang (1936), Anak Perawan di Sarang Penyamun (1940), Puisi Lama (1941), Puisi Baru (1946), The Indonesian Language and Literature (1962), Kebangkitan Puisi Baru Indonesia (1969), Grotta Azzura (1970-71), The Failure of Modern Linguistics (1976), Perjuangan dan Tanggung Jawab dalam Kesusastraan (1977), Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia sebagai Bahasa Modern (1977), Lagu Pemacu Ombak (1978), Kalah dan Menang (1978).

Sutardji Calzoum Bachri dilahirkan di Rengat, Riau, 24 Juni 1941. Pada 1974-75 mengikuti International Writing Program di Iowa University, Amerika Serikat, dan sejak 1979 hingga sekarang menjabat redaktur majalah sastra Horison. Karya-karyanya: O (1973), Amuk (1977; mendapat Hadiah Puisi DKJ 1976-77), Kapak (1979), O Amuk Kapak (1981). Sejumlah puisinya diterjemahkan Harry Aveling dan dimuat dalam antologi berbahasa Inggris: Arjuna in Meditation (1976; Calcutta). Pada 1979 ia menerima anugerah SEA Write Award dan sembilan tahun kemudian dilimpahi Penghargaan Sastra Chairil Anwar. Sebelumnya, peraih penghargaan tertinggi dalam bidang kesusastraan di Indonesia itu adalah Mochtar Lubis.

Taufiq Ismail dilahirkan di Bukittinggi, Sumatera Barat, 25 Juni 1935. Penerima American Field Service International Scholarship untuk mengikuti Whitefish Bay High School di Milwaukee, Amerika Serikat (1956-57), dan lulus dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Indonesia, Bogor (1963). Karya-karya penyair penerima Anugerah Seni Pemerintah RI pada 1970 yang juga salah seorang pendiri majalah sastra Horison (1966) dan Dewan Kesenian Jakarta (1968) ini, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, Inggris, Jepang, Jerman, dan Perancis.  Buku kumpulan puisinya yang telah diterbitkan: Manifestasi (1963; bersama Goenawan Mohamad, Hartojo Andangjaya, et.al.), Benteng (1966; mengantarnya memperoleh Hadiah Seni 1970), Tirani (1966), Puisi-puisi Sepi (1971), Kota, Pelabuhan, Ladang, Angin, dan Langit (1971), Buku Tamu Museum Perjuangan (1972), Sajak Ladang Jagung (1973), Puisi-puisi Langit (1990), Tirani dan Benteng (1993), dan Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (1999).  Bersama Ali Audah dan Goenawan Mohamad, penyair yang tinggi sekali perhatiannya pada upaya mengantarkan sastra  ke sekolah-sekolah menengah dan perguruan tinggi itu menerjemahkan karya penting Muhammad Iqbal, Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam. Sedangkan bersama D.S. Moeljanto, salah seorang seorang penanda tangan Manifes Kebudayaan ini menyunting Prahara Budaya (1994).

Titie Said lahir di Bojonegoro, Jawa Timur, 11 Juli 1935. Lulus sarjana muda Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1959). Pernah menjadi redaktur majalah Kartini dan memimpin majalah Famili. Novel-novelnya yang telah diterbitkan antara lain: Jangan Ambil Nyawaku (1977), Reinkarnasi, Fatima, Ke Ujung Dunia. Kumpulan cerita pendeknya: Perjuangan dan Hati Perempuan (1962).

Titis Basino dilahirkan di Magelang, Jawa Tengah, 17 Januari 1939. Karya-karya novelis yang cukup produktif ini antara lain: Pelabuhan Hati (1978), Dataran Terjal, Di Bumi Kita Bertemu, di Langit Kita Bersua (1983), Bukan Rumahku (1986), Dari Lembah ke Coolibah (1997), Welas Asih Merengkuh Tajali (1997), Menyucikan Perselingkuhan (1998), Tersenyum Pun Tidak Untukku Lagi (1998), Rumah K. Seribu (1998), Aku Kendalikan Air, Api, Angin, dan Tanah (1998), Mawar Hitam Milik Laras (1999), Garis Lurus, Garis Lengkung (2000).

Toeti Heraty Noerhadi dilahirkan di Bandung, Jawa Barat, 27 November 1933. Sarjana Filsafat dari Rijk Universiteit Leiden ini meraih doktor filsafatnya di Univeristas Indonesia. Karya-karyanya: Sajak-sajak 33 (1973), Seserpih Pinang Sepucuk Sirih (1979; [ed.]), Mimpi dan Pretensi (1982), Aku dan Budaya (1984), Manifestasi Puisi Indonesia-Belanda (1986; dengan Teeuw [ed.]), Wanita Multidimensional (1990), Nostalgi = Transendensi (1995). Puisi-puisinya dimuat pula dalam Antologi Puisi Indonesia 1997 dan Sembilan Kilap Cermin (2000).

Toha Mochtar dilahirkan di Kediri, Jawa Timur, 17 September 1926, dan meninggal di Jakarta, 17 Mei 1992. Pengarang yang di tahun 1971 bersama Julius R. Siyaranamual dan Asmara Nababan mendirikan majalah Kawanku ini, telah melahirkan sejumlah novel: Pulang (1958; mendapat Hadiah Sastra BMKN 1957-58), Daerah Tak Bertuan (1963; meraih Hadiah Sastra Yamin 1964), Kabut Rendah (1968), Bukan Karena Kau (1968).

Toto Sudarto Bachtiar dilahirkan di Cirebon, Jawa Barat, 12 Oktober 1929. Penyair yang dikenal dengan dua kumpulan puisinya: Suara (1956; memenangkan Hadiah Sastra BMKN 1957) dan Etsa (1958) ini, juga dikenal sebagai penerjemah yang produktif. Karya-karya terjemahannya antara lain: Pelacur (1954; Jean Paul Sartre), Sulaiman yang Agung (1958; Harold Lamb), Bunglon (1965; Anton Chekov, et.al.), Bayangan Memudar (1975; Breton de Nijs, diterjemahkan bersama Sugiarta Sriwibawa), Pertempuran Penghabisan (1976; Ernest Hemingway), Sanyasi (1979; Rabindranath Tagore). 

Umar Kayam dilahirkan di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932. Meraih M.A. di Universitas New York (1963), dan Ph.D. dua tahun kemudian dari Universitas Cornell, Amerika Serikat. Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada hingga pensiunnya di tahun 1997 ini adalah anggota penyantun/penasehat majalah sastra Horison sebelum mengundurkan pada 1 September 1993. Pada 1987, ia meraih SEA Write Award. Karya-karyanya: Seribu Kunang-kunang di Manhattan (1972), Totok dan Toni (1975), Sri Sumarah dan Bawuk (1975), Seni, Tradisi, Masyarakat (1981), Semangat Indonesia: Suatu Perjalanan Bangsa (1985), Para Priyayi (1992; mendapat Hadiah Yayasan Buku Utama Departemen P dan K 1995), Mangan Ora Mangan Kumpul (1990), Sugih Tanpa Banda (1994), Jalan Menikung (1999). Cerpen-cerpen-cerpennya diterjemahkan Harry Aveling dan diterbitkan dalam Sri Sumarah and Other Stories (1976) dan Armageddon (1976).

Umbu Landu Paranggi dilahirkan di Sumba, Nusa Tenggara Timur, 10 Agustus 1943. Bersama Ragil Suwarna Pagolapati, Teguh Ranusastra Asmara, Iman Budhi Santosa, mendirikan Persada Studi Klub, 5 Maret 1969, yang di kemudian hari melahirkan sejumlah penyair. Karya-karya penyair yang terakhir bekerja sebagai redaktur Bali Post ini adalah: Melodia,  Maramba Ruba, Sarang.

Upita Agustine dilahirkan di Pagaruyung, Sumatera Barat, 31 Agustus 1947. Puisi-pusinya dipublikasikan antara lain di Horison. Karya-karyanya: Bianglala (1973), Dua Warna (1975; bersama Hamid Jabbar), Terlupa dari Mimpi (1980), Sunting (1995; bersama Yvonne de Fretes), selain terdapat pula dalam antologi Laut Biru Langit Biru (1977; Ajip Rosidi [ed.]), Tonggak 3 (1987; Linus Suryadi [ed.]), Ungu: Antologi Puisi Wanita Penyair Indonesia (Korrie Layun Rampan [ed.]). 

Utuy Tatang Sontani dilahirkan di Cianjur, Jawa Barat, 31 Mei 1920, dan meninggal di Moskow, Uni Soviet, 17 September 1979. Karya-karya sastrawan anggota pimpinan LEKRA (1959-65) yang menulis novel dan banyak karya sastra drama ini adalah:  Suling (1948), Bunga Rumah Makan (1984), Tambera (1949), Orang-orang Sial (1951), Awal dan Mira (1952;  mendapat hadiah Sastra Nasional BMKN 1953), Manusia Iseng (1953), Sangkuriang Dayang Sumbi (1953), Sayang Ada Orang Lain (1954), Di Langit Ada Bintang (1955), Selamat Jalan Anak Kufur (1956), Di Muka Kaca (1957), Saat yang Genting (1958; mendapat Hadiah Sastra Nasional BMKN 1957-58), Manusia Kota (1961), Segumpal Daging Bernyawa (1961), Tak Pernah Menjadi Tua (1963), Si Sapar (1964), Si Kampreng (1964), dan terjemahan Selusin Dongeng (1949; Jean de la Fountain).

Wisran Hadi dilahirkan di Padang, Sumatera Barat, Juli 1945. Tahun 1977-78 mengikuti International Writing Program di Iowa University, Amerika Serikat. Karya-karyanya: Simalakama (1975), Anggun Nan Tongga (1978), Putri Bungsu (1978), Tamu (1996), Imam (1977). Sejumlah naskah dramanya berikut ini memenangkan Sayembara Penulisan Naskah Drama Dewan Kesenian Jakarta: Gaung (1975; hadiah ketiga), Ring (1976; hadiah harapan), Cindur Mata (1977; hadiah harapan); Perguruan (1978; hadiah kedua), Malin Kundang (1985; hadiah harapan), Penyeberangan (1985; hadiah ketiga), Senandung Semenanjung (1986; hadiah perangsang), Pewaris (1981). Pada 1991 Pemerintah Republik Indonesia menganugerahinya Penghargaan Penulis Sastra.


Sumber: Taufiq Ismail, dkk., Horison Sastra Indonesia, Jakarta: Horison dan Ford Foundation, 2002.
Seratus Tahun Nobel Sastra


Pemenang Nobel Sastra 1949-1901

1949
WILLIAM FAULKNER untuk sumbangan kekuatan dan keunikan artistik pada novel Amerika mo-dern.

1948
THOMAS STEARNS ELIOT untuk kege­mi­lang­annya, serta kepeloporannya dalam perpuisian masa kini.

1947
ANDRÉ PAUL GUILLAUME GIDE untuk keluasan wawasan, signifikansi artistik, dan ketajaman pandangan psikologisnya yang merepresentasikan problema dan kondisi manusia, serta kecintaannya pada kebenaran yang tak kenal takut.

1946
HERMANN HESSE untuk tulisan-tulisannya yang kaya inspirasi, merasuk, dan penuh keberanian, menjadi contoh cita ideal kemanusiaan dan ketinggian gaya sastra.

1945
GABRIELA MISTRAL (nama pena LUCILA GODOY Y ALCA-YAGA ), untuk sajak-sajak puitis, diilhami oleh kekuatan emosi yang membuat namanya menjadi simbol aspirasi ideal dunia Amerika Latin.

1944
JOHANNES VILHELM JENSEN untuk kekuatan dan kesuburan imajinasi puitik yang diramu dengan sebuah keingintahuan intelektual yang berskala luas dan berani, serta kesegaran gaya kreatif.

1943-1940 dana Nobel dialokasikan untuk dana utama (1/3) dan pendanaan khusus (2/3).

1939
FRANS EEMIL SILLANPÄÄ untuk pemahaman mendalam atas dunia petani di negerinya, serta peng­gam­bar­an pandangan dunia mereka dengan alam dalam kehalusan artistik.

1938
PEARL BUCK (nama pena PEARL WALSH SYDENSTRICKER ), untuk kekayaan dan kesungguhan penggambaran dan pengisahan kehidupan petani Cina, serta untuk adikarya biografisnya.

1937
ROGER MARTIN DU GARD untuk kekuatan artistik dan kebenaran dalam menggambarkan konflik aspek fundamental manusia dalam kehidupan kontemporer dalam novelnya Les Thibault.

1936 EUGENE GLADSTONE O'NEILL untuk ke­kuat­an, kehangatan, dan kedalaman rasa atas karya-karya dramatiknya yang mengejawantahkan konsep orisinal atas tragedi.

1935 dana dialokasikan untuk dana utama (1/3) dan untuk dana khusus (2/3).

1934
LUIGI PIRANDELLO untuk kegigihannya menghidupkan kembali kegemilangan seni drama dan pengisahan adegan.

1933
IVAN ALEKSEYEVICH BUNIN untuk disiplin astistik yang berdasar pada tradisi penulisan prosa Rusia klasik.

1932
JOHN GALSWORTHY untuk kegemilangan seni berkisah yang mencapai ketinggian bentuk dalam The Forsythe Saga.

1931
ERIK AXEL KARLFELDT untuk sajak-sajaknya.

1930
SINCLAIR LEWIS untuk seni berkisahnya yang dahsyat serta untuk kemampuannya dalam menciptakan tipe-tipe karakter baru dengan jenaka dan penuh humor

1929
THOMAS MANN khususnya untuk novel besarnya Buddenbrooks, yang  berhasil menghidupkan sebuah karya klasik dalam sastra kontemporer.

1928
SIGRID UNDSET khususnya untuk kekuatan deskriptifnya atas kehidupan daratan utara selama abad pertengahan.

1927
HENRI BERGSON dalam kegemilangan, kekayaan, dan daya hidup ide-idenya.

1926
GRAZIA DELEDDA (nama pena GRAZIA MADESANI née DELEDDA), untuk idealisme dan kedalaman simpatinya dalam penggambaran kehidupan penduduk asli secara plastis, yang berhasil mengangkat problem manusiawi secara umum.

1925
GEORGE BERNARD SHAW untuk karya-karyanya yang ditandai oleh kegigihan idealisme dan rasa kemanusiaan, yang kesemuanya diwarnai nada satire dalam keindahan puitis yang khas.

1924
WLADYSLAW STANISLAW REYMONT (nama pena REYMENT ), untuk kebesaran epos nasionalnya, Para Petani (The Peasants).

1923
WILLIAM BUTLER YEATS untuk sajak-sajaknya yang senantiasa inspiratif, yang dengan kebesaran bentuk artistiknya menghidupkan daya hidup semua bangsa.

1922
JACINTO BENAVENTE untuk kesenangan dan kesantunan sebagai kelanjutan dari tradisi drama Spanyol.

1921
ANATOLE FRANCE (nama pena JACQUES ANATOLE THIBAULT ), dalam menampilkan kege­milangan semangat sastrawi, ditandai dengan gaya yang anggun, menyuarakan simpati manusiawi, kegemilangan dan temperamen Galia yang sesungguhnya.

1920
KNUT PEDERSEN HAMSUN untuk karya mo­numentalnya, Growth of the Soil.

1919
CARL FRIEDRICH GEORG SPITTELER sebagai penghargaan khusus atas karyanya, Olympian Spring.

1918 dana dialokasikan untuk dana khusus.

1917 Hadiah sastra dibagi merata kepada:
KARL ADOLPH GJELLERUP untuk sajak-sajaknya yang kaya dan variatif yang diilhami oleh citarasa yang besar, dan
HENRIK PONTOPPIDAN untuk penggambaran otentik atas kehidupan sehari-hari di Denmark.

1916
CARL GUSTAF VERNER VON HEIDEN­STAM dalam pengambarannya yang bermakna dan wakil representatif era baru dalam sastra kita.

1915
ROMAIN ROLLAND sebagai penghargaan atas ketinggian citarasa karya sastra dan untuk simpati dan kecintaan pada kebenaran lewat penggambaran berbagai tipe manusia yang berbeda.

1914 dana dialokasikan untuk dana khusus.

1913
RABINDRANATH TAGORE untuk syair-syairnya yang sensitif, segar dan indah, menghasilkan pemikiran puitis yang dieskpresikan dalam bahasa Inggrisnya sendiri sebagai bagian dari sastra Barat.

1912
GERHART JOHANN ROBERT HAUPTMANN terutama untuk kesegaran, keragaman, dan kepiawaiannya dalam seni dramatik.

1911
COUNT MAURICE (MOORIS) POLIDORE MARIE BERNHARD MAETERLINCK, sebagai penghargaan atas berbagai aktivitas sastranya, khususnya dalam karya dramatik, yang dengan gemilang dan kaya dengan imajinasi dan kecantikan puitis --serta kadang memanfaatkan dongeng-- secara misterius memikat dan menghidupkan imajinasi kita.

1910
PAUL JOHANN LUDWIG HEYSE sebagai penghargaan atas kesempurnaan artistiknya, diramu dengan idealisme, yang ditunjukkannya selama karier produktifnya sebagai penyair liris, dramawan, novelis, dan cerpenis yang terkenal di seluruh dunia.

1909
SELMA OTTILIA LOVISA LAGERLÖF sebagai penghargaan atas ketinggian idealismenya, kegemilangan imajinasi dan persepsi spiritual yang menandai tulisan-tulisannya.

1908
RUDOLF CHRISTOPH EUCKEN dalam penggambarannya dan pencariannya yang penuh gairah akan kebenaran, dirasuki kekuatan pikiran, keluasan wawasan, dan kehangatan serta kekuatan yang ia tampilkan dalam banyak karyanya yang dibangun dengan pandangan hidup yang idealistik.

1907
RUDYARD KIPLING dalam pertimbangan atas kekuatan pengamatan, orisinalitas imajinasi, kejantanan ide-idenya, dan bakat luar biasa yang menandai karyanya sebagai seorang penulis termashur.

1906 GIOSUÈ CARDUCCI tidak hanya karena per­timbangan akan kesungguhan belajarnya, atau penga­matan kritisnya, melainkan --di atas segalanya-- sebagai peng­har­gaan atas daya kreatif, kesegaran gaya, dan kekuatan liris yang menandai adikarya puitisnya.

1905
HENRYK SIENKIEWICZ karena kege­milang­an­nya dalam penulisan epos.

1904 Hadiah sastra dibagi merata kepada:
FRÉDÉRIC MISTRAL dalam penggambaran atas kesegaran orisinalitas dan kesungguhan inspirasi yang dengan berani mereflesikan pemandangan alam dan semangat purba masyarakatnya, serta signifikansi karya-karyanya sebagai seorang Provençal philologist, dan
JOSÉ ECHEGARAY Y EIZAGUIRRE atas pro­duk­ti­vitasnya dan garapannya yang dengan kemampuan kom­posisi yang gemilang, menghidupkan kembali tradisi besar drama Spanyol dengan gaya yang mempribadi.

1903
BJØRNSTJERNE MARTINUS BJØRNSON sebagai penghargaan atas keanggunan, kegemilangan dan keluwesan sajak-sajaknya yang senantiasa ditandai oleh kesegaran ilhami dan kemurnian daya hidup.

1902
CHRISTIAN MATTHIAS THEODOR MO­M­M­SEN, legenda hidup dalam penulisan sejarah, dengan me­ngacu pada karya monumentalnya, A history of Rome.

1901
SULLY PRUDHOMME (nama pena RENÉ FRAN­ÇOIS ARMAND ), sebagai penghargaan atas kom­posisi puitiknya, yang memberi pembenaran atas ke­ting­gian idealisme, kesempurnaan artistik, dan kombinasi khas dan tak biasa antara keberanian jiwa dan inte­lek­tual­itas

Seratus Tahun Nobel Sastra


Pemenang Nobel Sastra 2000-1950


2000
GAO XINGJIAN berhasil menggambarkan suatu pencarian akar-akar, inti damai, dan kebebasan melalui pe­tua­langan waktu dan tempat melalui wilayah-wilayah pe­da­laman Cina.

1999
GUNTER GRASS yang keriangan fabel-fabel gelapnya melukiskan wajah sejarah yang terlupakan.

1998
JOSE SARAMAGO yang dengan parabel yang ditopang dengan imajinasi dan ironi, secara serempak me­mung­kinkan kita untuk memahami kembali kenyataan yang carut-marut.

1997
DARIO FO yang berusaha menandingi otoritas mitis badut-badut abad pertengahan dan menegakkan harga diri kaum tertindas.

1996
WISLAWA SZYMBORSKA untuk sajak-sajak yang dengan ketepatan ironinya memungkinkan konteks sejarah dan biologis dapat menerangi segi-segi realitas manusia.

1995
SEAMUS HEANEY untuk karya-karya yang dengan keindahan liris dan kedalaman etis menggambarkan ke­ajaiban keseharian dan masa lalu yang tetap hidup.

1994
KENZABURO OE yang dengan kekuatan puitik mencipta sebuah dunia imajinatif, di mana kehidupan dan mitos diramu padu dalam bentuk lukisan dari dilema ma­nusia masa kini.

1993
TONI MORRISON yang novel--novelnya bercirikan kekerasan dan masukan-masukan puitis, sehingga meng­hidupkan aspek esensial dari realitas Amerika.

1992
DEREK WALCOTT untuk kecemerlangan ung­kapan-ungkapan puitisnya, yang ditunjang oleh visi sejarah, sebagai hasil dari komitmen multikultural.

1991
NADINE GORDIMER yang lewat kegemilangan tulisan eposnya -dengan meminjam kata-kata Alfred Nobel - telah memberi sumbangan besar pada kema­nu­siaan.

1990
OCTAVIO PAZ untuk tulisannya yang penuh greget, bercakrawala luas, dan ditandai oleh kecerdasan yang peka dan integritas kemanusiaan.

1989
CAMILO JOSÉ CELA untuk kekayaan dan intensitas prosanya yang dengan bentuk kemesraan dan rasa kasih yang tertahan, menghasilkan visi yang menantang atas kerapuhan manusia.

1988
NAGUIB MAHFOUZ yang lewat kekayaan dalam ketajaman nuansa realistik, kadang ambigu, yang dibentuk dalam sebuah seni kisahan Arab yang diaplikasikan bagi semesta kemanusiaan.

1987
JOSEPH BRODSKY untuk segala kegemilangan kesastrawanan, ditambah kejernihan pemikiran dan intensitas puitik.

1986
WOLE SOYINKA yang dengan keluasan perspektif budaya dan dengan suara puitis menggambarkan drama eksistensi manusia.

1985
CLAUDE SIMON yang  novelnya meng­gabungkan kreativitas penyair dan pelukis dengan kewas­pa­daan yang mendalam akan waktu dalam penggambaran kon­disi manusia.

1984
JAROSLAV SEIFERT untuk puisi-puisinya yang mengandung kesegaran sensualitas, serta kaya akan daya temu dalam menghadirkan gambaran kegigihan semangat akan kebebasan dan keberagaman kecendekiaan manusia.

1983
SIR WILLIAM GOLDING untuk novel-novelnya yang dengan seni penceritaan realistik serta penggunaan mitos-mitos yang universal dan beragam, telah mewarnai kondisi kemanusiaan di dunia belakangan ini.

1982
GABRIEL GARCÍA MÁRQUEZ untuk novel-novel dan cerpen-cerpennya yang lewat kekayaan kom­binasi fantastik-realistik mengkomposisikan kekayaan dunia imajinasi yang merefleksikan konflik dan kehidupan sebuah benua.

1981
ELIAS CANETTI untuk tulisan-tulisan yang dengan keluasan pandangan, menampilkan kekayaan ide dan ke­kuat­an artistik

1980
CZESLAW MILOSZ yang dengan suara terang dan tanpa kompromi mengekspos sebuah dunia yang dihum­balang oleh konflik.

1979
ODYSSEUS ELYTIS (nama pena ODYSSEUS ALEPOUDHELIS ), untuk sajak-sajaknya, yang melawan latar tradisi Yunani, menampilkan ketegangan sensual, dan ketajaman intelektual manusia modern dalam mem­per­juangkan kebebasan dan daya kreatif.

1978
ISAAC BASHEVIS SINGER untuk seni kisahannya yang penuh greget, yang dengan akar budaya dan tradisi Yahudi Polandia mengangkat hasrat manusia untuk hidup.

1977
VICENTE ALEIXANDRE untuk penulisan puitis yang kreatif menerangi kondisi dalam kosmos dan masya­ra­kat masa kini, dan pada saat yang sama menampilkan peng­hidupan kembali kebesaran tradisi perpuisian Spanyol zaman perang.

1976
SAUL BELLOW untuk pemahaman kemanusiaan dan analisis yang subtil atas kebudayaan kontemporer dalam karya-karyanya yang padu.

1975
EUGENIO MONTALE untuk sajak-sajaknya yang khas, yang dengan kepekaan artistik yang besar, telah meng­interpretasikan nilai manusia lewat pandangan yang hidup yang tanpa ilusi.

1974 Hadiah sastra secara merata dibagi dua kepada:
EYVIND JOHNSON untuk seni kisahan dan wawasan yang melintasi benua dan abad dalam melayani hasrat akan kemerdekaan, dan
HARRY MARTINSON untuk tulisan-tulisannya yang lewat guguran embun merefleksikan kosmos.

1973
PATRICK WHITE untuk epos dan pengisahan bersifat psikologis yang memperkenalkan sebuah benua baru dalam khasanah sastra.

1972
HEINRICH BÖLL untuk tulisan-tulisannya yang lewat kombinasi berperspektif luas atas waktu dan kete­ram­pilan yang peka dalam penokohan, telah menyumbang kepada kebangkitan kembali sastra Jerman.

1971
PABLO NERUDA untuk sajak-sajak yang dengan kekuatan elemental berhasil menghidupkan impian dan nasib benua.

1970
ALEKSANDR ISAEVICH SOLZHENITSYN untuk kekuatan etis yang dengannya ia temukan akar kemurnian tradisi sastra Russia.

1969
SAMUEL BECKETT untuk tulisan-tulisannya yang --dengan bentuk baru dalam novel dan drama-- meng­gam­­barkan kemiskinan atas awal dan akhir manusia mo-dern.

1968
YASUNARI KAWABATA untuk kepiawaiannya bercerita, yang dengan kepekaan luar biasa meng­ekspre­sikan intipati carapikir Jepang.

1967
MIGUEL ANGEL ASTURIAS untuk kehebatan gairah sastrawi yang berakar dalam pada karakteristik na­sio­nal dan tradisi masyarakat Indian.

1966 Hadiah Satra dibagi merata kepada:
SHMUEL YOSEF AGNON untuk kenyaringan seni berkisah yang mengambil motif dari kehidupan masyarakat Yahudi, dan
NELLY SACHS untuk kegemilangan tulisan liris dan dramatik, yang menghasilkan penafsiran atas harga diri Israel dalam sentuhan kuat.

1965
MICHAIL ALEKSANDROVICH SHO­LOKHOV untuk kekuatan artistik dan integritasnya yang lewat kisah Don, mempersembahkan suatu tahapan sejarah dalam kehidupan masyarakat Russia

1964
JEAN-PAUL SARTRE untuk karya-karyanya yang kaya serta diramu dengan semangat akan kemer­dekaan dan pencarian kebenaran yang mempengaruhi abad kita (menolak hadiah).

1963
GIORGOS SEFERIS (nama pena GIORGOS SE­FERIA­DIS ), untuk kemantapan tulisan lirisnya, yang diinspirasi oleh kedalaman rasa dari dunia budaya Helenik.

1962
JOHN STEINBECK untuk tulisan-tulisan realistik dan imajinatif yang diramu dengan kehangatan humor dan persepsi sosial yang tajam.

1961
IVO ANDRI´C untuk kekuatan epik yang berhasil meninggalkan jejak tematik serta menampilkan harga diri manusia lewat gambaran sejarah negerinya.

1960
SAINT-JOHN PERSE (nama pena ALEXIS LÉ­GER ), untuk ketinggian penjelajahan dan kiasan yang liar dalam puisinya yang dengan gaya visioner merefleksikan kondisi zaman kini.

1959
SALVATORE QUASIMODO untuk sajak-sajak lirisnya, yang dengan sentuhan klasik mengekspresikan penga­laman tragis dalam kehidupan waktu kita ini.

1958
BORIS LEONIDOVICH PASTERNAK untuk puisi lirik kontemporernya yang penting dan penuh gairah dan keberanian, di samping sumbangannya bagi tradisi epos Russia yang besar (awalnya menerima, tetapi kemudian menolak karena tekanan pemerintah Sovyet).

1957
ALBERT CAMUS untuk karya-karya sastranya yang penting, yang dengan jernih menampilkan problema kesa­daran manusia zaman kita.

1956
JUAN RAMÓN JIMÉNEZ untuk sajak-sajak lirisnya, yang dalam bahasa Spanyol menampilkan contoh ketinggian semangat dan kemurnian artistik.

1955
HALLDÓR KILJAN LAXNESS untuk kekuatan episnya yang dengan gemilang menghidupkan kembali kebesaran seni kisahan Irlandia.

1954
ERNEST MILLER HEMINGWAY untuk kepiawaiannya, sebagaimana ditunjukkan dalam The Old Man and the Sea, yang berpengaruh besar pada gaya pe­nulisan kontemporer.

1953
SIR WINSTON LEONARD SPENCER CHURCHILL untuk kepiawaiannya atas penggambaran historis dan biografis, juga pidato-pidatonya yang gemilang dalam mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan.

1952
FRANÇOIS MAURIAC untuk kedalaman pan­dangan spiritual dan intensitas artistik sebagaimana terlihat dalam novel-novelnya yang dirasuki oleh drama kehi­dupan manusia.

1951
PÄR FABIAN LAGERKVIST untuk penggambaran artistik serta kemandirian pemikiran yang ia manfaatkan dalam sajak-sajaknya untuk menemukan jawaban-jawaban bagi pertanyaan abadi yang selalu berkonfrontasi dengan umat manusia.

1950
EARL BERTRAND ARTHUR WILLIAM RUSSELL untuk tulisan-tulisannya yang beragam serta gigih memperjuangkan kemanusiaan ideal dan kebebasan berfikir.









TWO FALLING LEAVES


Like two falling leaves
we read dozens of poems
written on the wind
before we finally reach
our eternal home

We spread our prayer mats on the grass
and wash each other’s wounds
in the flooding rain

in the east
the early dawn
praises the morning

In its light
I place my clay
into the palms of your hands

Can you hear
how my heart thunders
like a grateful river

1990-1992


© A poem by Cecep Syamsul Hari.
© Translated into English
by Harry Aveling
and Dewi Candraningrum.
All rights reserved.


Breyten Breytenbach dilahirkan di Bonnievale, Afrika Selatan pada tahun 1939. Ia studi Sastra di Universitas Capetown, sambil mengambil mata kuliah seni. Pada tahun 1959 ia meninggalkan Afrika Selatan dan setelah berkelana ke seluruh Eropa, ia menetap di Paris. Di Paris ia mulai melukis, menulis puisi, dan karya-karya prosa eksperimental. Di Paris pula ia bertemu dan menikah dengan istrinya Ngo Thi Hoang Lien (Yolanda Marie) seorang gadis keturunan Vietnam. Menurut hukum Apartheid yang berlaku di Afrika Selatan saat itu, perkawinannya itu tidak sah. Pada saat itulah ia mulai memerangi sistem itu.
Karya-karyanya dipublikasikan pertama kali di Edinborough, pada tahun 1962. Tak lama setelah itu karyanya juga mulai dikenal di Belanda. Buku pertamanya yang diterbitkan di negara asalnya, Afrika Selatan adalah Katastrofes (prosa) dan Die yesterkoei moet sweet (puisi), pada tahun 1964. Lewat buku-buku tersebut ia memperkenalkan surrealisme pada publik sastra Afrika Selatan. Dua kumpulan puisi berikutnya adalah Die Huis Van Die Dowe (Rumah Orang Tuli, 1967) dan Lotus (1970). Sejak saat itu ia sudah dianggap sebagai salah seorang penyair terpenting di jamannya dan dari bahasanya.
Sejak 1971 Breyten telah memainkan peran penting dalam berbagai festival puisi internasional. Ia mengorganisir ‘Protest in Poetry Program’ pada tahun 1972, bersama beberapa rekan senegaranya yang dalam pembuangan. “Penyair tidak menghasilkan revolusi, revolusilah yang menghasilkan penyair,” demikian pernyataannya ketika itu. Pada tahun 1975, dalam kunjungan rahasianya ke Afrika Selatan, negerinya, Breyten ditangkap dan dijatuhi hukuman sembilan tahun penjara. Dalam masa hukumannya, ia sempat ditempatkan di penjara khusus selama satu tahun. Baru pada tahun 1982 ia dibebaskan. Lukisannya yang berjudul De Ware Bekenntenissen Van Een Witte Terrorist (Pengakuan Sejati Seorang Terrorist Kulit Putih) dengan mempesona sekaligus menyedihkan menggambarkan tahun-tahun yang dilewatinya di penjara. Lukisan itu menggambarkan rakyat Afrika Selatan menghancurkan sebuah mesin yang merupakan lambang perwujudan sistem rumah tahanan di Afrika Selatan.
Pada tahun 1963, Breyten Breytenbach kembali hadir dalam festival-festival puisi di dunia. Dua tahun kemudian, dalam bukunya De Andere Kant Van De Vrijheid (Sisi Lain Kemerdekaan) ia menumpahkan seluruh hasil pemikirannya selama duapuluh tahun karirnya sebagai penulis. Buku ini berisi kumpulan esai, catatan-catatan perjalanan, surat-surat, puisi serta catatan harian. Kebanyakan buku Breytenbach pertama kali diterbitkan di Belanda. Terjemahan karya-karyanya muncul di banyak negara. Selain seorang penyair dan novelis, Breyten juga seorang pelukis.
Breyten Breytenbach tetap terlibat dengan kehidupan di Afrika Selatan dan banyak negara Afrika lainnya. Ia merupakan salah seorang pendiri Institute Goree di Dakar, Senegal.

Raoul Schrott, lahir di Sao Paulo, 1964. Ia termasuk penyair berpandangan luas di jajaran penyair muda Austria. Ia menangani berbagai bidang di antaranya sebagai penyair, ahli puisi, penterjemah, penyunting dan penerbit, serta peneliti gerakan dadaisme. Sebagai penyair ia menghubungkan dan mengaitkan keberagaman satu sama lain hingga tahu: kecemerlangan dan keterpelajaran, kuno dan modern, eksotik dan kedekatan, yang ia hembuskan dengan penemuan-penemuan yang tak biasa. Sebagai penyair ia mencari benturan-benturan baru dalam kekinian, namun ia kacaukan dengan penjelajahan-penjelajahan poetologist yang tak bakal pernah dibatasi oleh persajakan murni. Penghilangan mistifikasi sajak ia lakukan dengan penuh keriangan. Kritikus mengesahkannya sebagai sastra Schrottian dengan alasan bahwa: “Pemahaman ilmu pengetahuan objektif  dikawinkan pengalaman pribadi yang subjektif sifatnya, bualan menyenangkan dari para ilmuwan yang mencari kepurbaan dan bahasa dunia.”
Karya-karyanya dianggap mengagetkan, menguatkan kesadaran, penghayatan, dan menuntun kita ke derajat keakraban dari keberadaan benda-benda. Raul Schrott, membuat benda-benda mampu berbicara. Lebih dari itu, puisi tak sanggup melakukannya.
Karya-karyanya antara lain: Finis Terrae; Tropen; Die Musen, dan Die Erfindung der Poesie.

Brigitte Oleschinski, lahir pada tahun 1955 di Cologne, Jerman. Selepas karir akademik di bidang sejarah kontemporer, kini dia tinggal di Berlin sebagai penulis freelance. Dia menulis sajak-sajak dan esai-esai mengenai puisi. Kumpulan sajaknya yang pertama, Mental Heat Control, diterbitkan Rowohlt Verlag pada tahun 1990 dan mendapat anugerah Förderungspreis Literatur zum Kunstpreis Berlin. Kumpulan sajaknya yang kedua Your Passport is Not Guilty (Rowohlt, 1997) memenangkan Bremer Literaturförderpreis 1998 dan Peter-Huchel-Preis yang prestisius (1998). Buku berikutnya adalah sebuah kumpulan esai berjudul Reizstrom in Aspik. Wie Gedichte denken (Kerusuhan di Aspic: Bagaimana Puisi Memikirkannya), akan terbit pada bulan musim semi 2002 oleh DuMont Literaturverlag. Ia diundang ke Festival Poetry International ke-31 di Rotterdam (Mei, 2000).

Martin Jankowsky lagir di Greifswald (Laut Baltik) pada tahun 1965. Sejak 1990 bekerja sebagai konsultan penerbitan antologi puisi perihal perubahan-perubahan histoiris di Jerman Timur pada 1989; setelah sejak 1993 bekerja di wilayah pusat kebudayaan di Fürstenwalde dan terlibat dalam banyak kegiatan sastrawi, sejak 1995 ia bekerja sebagai penulis lepas di Berlin, di samping sebagai sutradara teater dan mengelola penerbitan majalah-majalah kesusastraan (yang meliputi puisi, cerita pendek, esai, dan sebagainya). Pada tahun 1996 menerima author’s scholarship dari yayasan Kulturfonds, dan setahun kemudian menerima grant untuk pekerjaan yang berkaitan dengan dewan perwakilan rakyat Berlin. Pada tahun 1998 memperoleh penghargaan tahunan kesusastraan sains dan filsafat dari DVLG (“Jahrespreis für Literaturwissenschaft und Geistesgeschichte”); melanjutkan studi dalam  bidang kesusastraan Jerman baru dan kajian Amerika di Universitas Humboldt, Berlin. Pada tahun 1999 novel pertamanya, Rabet oder Das Verschwinden einer Himmelsrichtung(Rabet or The Disappearance of a Cardinal Point) diluncurkan.

Michael Augustine lahir di Lübeck, Jerman, 13 Juni 1953. Selain seorang penyair, ia juga adalah penerjemah, penulis prosa dan feature. Ia mengambil studi sastra Anglo-Irish dan folklore di Kiel dan Dublin. Dia memperoleh berbagai anugerah di antaranya: Anugerah Friedrich Hebbel (1982), dan Anugerah Kurt Magnus dari Jaringan Radio dan Televisi Jerman (ARD). Tahun 1984, Universitas Iowa meng­anugerahinya “Honorary Fellow in Writing”; dan tahun 1986 ia menerima sebuah beasiswa dari Stichting Culturele Uitsisseling, Amster­dam, dan tahun 1997 mendapat Media Prize dari OKR.
Dia menulis untuk surat kabar seperti Neue Zürker Zeitung dan Süddeutsche Zeitung. Beberapa bukunya telah diterjemahkan ke beberapa bahasa Eropa lainnya.
Ia kerap diundang membacakan sajak-sajak­nya dalam festival internasional, antara lain di Kuala Lumpur, Dublin, Maastricht, Faenza, Dornbirn, Groningen, dan Prague.
Michael Augustin tinggal di Bremen ber­sama istrinya penyair India Sujata Bhatt, serta putrinya Jenny. Hingga kini ia bekerja sebagai penyiar di Radio Bremen.

A  Mustofa Bisri dilahirkan di Rembang, 10 Agustus 1944. Sering menggunakan nama samaran M. Ustov Abi Sri. Lulusan Universitas Al-Azhar (Kairo, Mesir) ini kerap mengikuti forum baca puisi, termasuk di Festival Mirbid X di Irak. Karya-karyanya dimuat dalam sejumlah antologi puisi bersama, antara lain: Puisi Syukuran Tutup Tahun 1989; Bosnia Kita; Parade Puisi Indonesia; Antologi Puisi Jawa Tengah. Kumpulan puisi tunggalnya adalah: Ohoi; Tadarus; dan Pahlawan dan Tikus.
A  Mustofa Bisri (M. Ustov Abi Sri) was born in Rembang, August 10 1944. Graduated from Al-Azhar University, Cairo, Egypt. He's often invited to many poetry reading forums, including Mirbid Festival X, Iraq. His works published in various poetry anthologies, for instance: Puisi Syukuran Tutup Tahun 1989; Bosnia Kita; Parade Puisi Indonesia; Antologi Puisi Jawa Tengah. His collected poems are: O hoi; Tadarus; Pahlawan dan Tikus.


Abdul Hadi W.M. lahir di Sumenep, Madura, 24 Juni 1946. Antara 1967-83 pernah menjadi redaktur Gema Mahasiswa, Mahasiswa Indonesia, Budaya Jaya, Berita Buana, dan penerbit Balai Pustaka. Pada 1973-74 mengikuti International Writing Program di Iowa University, Amerika Serikat. Karya-karyanya: Riwayat (1967) Laut Belum Pasang (1971), Cermin (1975), Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur (1975), Meditasi (1976; meraih hadiah Buku Puisi Terbaik Dewan Kesenian Jakarta 1976-77), Tergantung Pada Angin (1977), Anak Laut Anak Angin (1983; mengantarnya menerima penghargaan SEA Write Award 1985). Sejumlah sajaknya diterjemahkan Harry Aveling dan disertakan dalam antologi Arjuna in Meditation (1976). Karya-karya terjemahannya: Faus (Goethe), Rumi: Sufi dan Penyair (1985), Pesan dari Timur (1985; Mohammad Iqbal), Iqbal: Pemikir Sosial Islam dan Sajak-sajaknya (1986; bersama Djohan Effendi), Kumpulan Sajak Iqbal: Pesan kepada Bangsa-bangsa Timur (1985), Kehancuran dan Kebangunan: Kumpulan Puisi Jepang (1987). Kumpulan esainya, Kembali ke Akar Kembali ke Sumber diluncurkan pada 1999, dua puluh tahun setelah ia menerima Anugerah Seni dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Abdul Hadi W.M. was born in Sumenep, Madura, June 24, 1946. Between 1967-1983 he used to be an editor in Gema Mahasiswa, Mahasiswa Indonesia, Budaya Jaya, Berita Buana, and Pustaka Jaya publisher. From 1973 to 1974 he was invited to International Writing Program in Iowa University, United States. His works: Riwayat (1967) Laut Belum Pasang (1971), Cermin (1975), Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur (1975), Meditasi (1976; the winner of the best colleted poems of Jakarta Arts Council 1976-77), Tergantung Pada Angin (1977), Anak Laut Anak Angin (1983; bringing him to received SEA Write Award prize in 1985). Some of his poems were translated by Harry Aveling, published in Arjuna Meditation (1976). He is also known as an outstanding translator for instance: Faust (Goethe), Rumi: Sufi dan Penyair (1985); Pesan dari Timur (1985; Mohammad Iqbal), Iqbal: Pemikir Sosial Islam dan Sajak-sajaknya (1986; with Djohan Effendi), Kumpulan Sajak Iqbal: Pesan kepada Bangsa-bangsa Timur (1985). His collected essays, Kembali ke Akar Kembali ke Sumber published in 1999, twenty years later after he was obtained Anugerah Seni (Arts Award) from Department of Culture and Education.


Acep Zamzam Noor lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat, 28 Februari 1960. Alumnus Seni Rupa ITB ini melanjutkan studinya di Universita Italiana per Stranieri, Perugia, Italia. Puisi-puisinya tersebar di berbagai majalah dan surat kabar dalam dan luar negeri (Malaysia). Kumpulan puisinya yang sudah diterbitkan antara lain: Tamparlah Mukaku (1982), Aku Kini Doa (1986), Kasidah Sunyi (1989), Dari Kota Hujan (1996), Di Luar Kata (1997), Di Atas Umbria (1999). Selain itu karyanya dimuat pula dalam sejumlah antologi, seperti: Antologi Pesta Sastra Indonesia (1987), Tonggak 4 (1987; Linus Suryadi AG [ed.]), Ketika Kata Ketika Warna (1995).
Acep Zamzam Noor was born in Tasikmalaya, West Java, February 28, 1960. Graduated from Faculty of Arts, Bandung Institute of Technology, and then  continued his post-graduate study at Universita Italiana per Stranieri, Perugia, Italy. His poems published in numerous local and abroad newspapers and magazines. His published works are: Tamparlah Mukaku (1982), Aku Kini Doa (1986), Kasidah Sunyi (1989), Dari Kota Hujan (1996), Di Luar Kata (1997), Di Atas Umbria (1999).  His poems could be found furthermore
in various important anthologies, such as: Antologi Pesta Sastra Indonesia (1987), Tonggak 4 (1987; Linus Suryadi AG [ed.]), Ketika Kata Ketika Warna (1995).

Afrizal Malna lahir di Jakarta, 7 Juni 1957.  Kumpulan puisi­nya adalah: Abad Yang Berlari (1984, mendapat peng­har­ga­an Ha­diah Buku Sastra Dewan Kesenian Jakarta, 1984); Yang Berdiam Dalam Mikrofon (1990); Arsitektur Hujan, (1995, mendapat peng­har­gaan dari Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebu­da­ya­an RI 1996), Biography of Reading (1995), Kalung dari Teman (1999). Kumpulan esainya adalah Sesuatu Indonesia (2000). Karyanya juga terbit dalam antologi bersama antara lain: Perdebatan Sastra Kontekstual (Ariel Heryanto, 1986); Tonggak Puisi Indonesia Modern 4 (Linus Suryadi, 1987); Cerpen-cerpen Nusantara Mutakhir (Suratman Markasan, Kuala Lumpur 1991); Dinamika Bu­daya dan Politik (Fauzie Ridjal, 1991); Traum der Freiheit Indonesia 50 jahre nach der Unabhangigkeit (Hendra Pasuhuk & Edith Koesoemawiria, Koln, 1995); Ketika Kata Ketika Warna (Taufiq Ismail, et. al, 1995); Pistol perdamaian, Cerpen Pilihan Kom­pas 1996; Anjing-anjing Menyerbu Kuburan, Cerpen Pilihan Kompas 1997; dalam Frontiers of World Literature (Iwanami Shoten, Publishers, Tokyo, 1997) dalam bahasa Jepang; dan Poets, Friends Around the World (Mitoh-Sha, Tokyo, 1997).  Ia juga mendapat Penghargaan “Kincir Perunggu” untuk naskah monolog dari Radio Nederland Wereldomroep, 1981; dan salah satu esai terbaik untuk 30 tahun majalah sastera Horison (1997). Memberi­kan diskusi dan baca puisi di beberapa universitas di Koln, Bonn dan Hamburg (1995).  Mengikuti Poetry Inter­national Rotter­dam, 1996.

Afrizal Malna was born in Jakarta, June 7, 1957. His published collected poems are:  Abad yang Berlari (1984, the winner of Literary Book Prize Jakarta Art Council 1984); Yang Berdiam Dalam Mikrofon (1990); Arsitektur Hujan, (1995,  awarded by Language Centre, Department of Culture and Education 1996),  Biography of Reading (1995), dan Kalung dari Teman (1999). His collected published essays is Sesuatu Indonesia (2000). His works were pubished in some anthologies, for instance: Perdebatan Sastra Kontekstual (Ariel Heryanto, 1986); Tonggak Puisi Indonesia Modern 4 (Linus Suryadi, 1987); Cerpen-cerpen Nusantara Mutakhir (Suratman Markasan, Kuala Lumpur 1991); Dinamika Bu­daya dan Politik (Fauzie Ridjal, 1991); Traum der Freiheit Indonesia 50 jahre nach der Unabhangigkeit (Hendra Pasuhuk & Edith Koesoemawiria, Koln, 1995); Ketika Kata Ketika Warna (Taufiq Ismail, et. al, 1995); Pistol perdamaian, Cerpen Pilihan Kom­pas 1996; Anjing-anjing Menyerbu Kuburan, Cerpen Pilihan Kompas 1997; dalam Frontiers of World Literature (Iwanami Shoten, Publishers, Tokyo, 1997); and Poets, Friends Around the World (Mitoh-Sha, Tokyo, 1997).  His monologue manuscript was the winner of “Kincir Perunggu” award from Radio Nederland Wereldomroep, 1981; one of his best essays awarded by Horison Literary Magazine  (1997). In 1995 he gave lectures in several universities in Koln, Bonn and Hamburg. He was invited to Rotter­dam Poetry Inter­national, 1996.


Agus R. Sarjono, lahir di Bandung, 27 Juli 1962. Sajak, cer­pen dan esainya dimu­at di berbagai media terkemuka di Indo­nesia, juga di Brunei, Malaysia,  Inggris, Jerman, Belanda, dan Perancis. Sa­jak-sajak­nya telah diter­je­mah­kan ke dalam bahasa Ci­na, Inggris, Perancis, Jer­man, dan Belanda, serta termu­at dalam be­berapa antologi di dalam dan di luar Indonesia. Kumpulan sa­jak­nya adalah Kenduri Air Mata (1994; 1996); Suatu Cerita dari Negeri Angin (2001); dan A Story from the Country of the Wind (2001). Se­men­­­tara buku esai­­nya adalah Bahasa dan Bo­na­fidi­tas Hantu (2001), serta Sastra dalam Empat Orba (2001). Buku-buku yang dieditorinya antara lain Saini KM: Puisi dan Beberapa Masalahnya (1993); Catatan Seni (1996); Kapi­ta Selekta Teater (1996); Pembebasan Budaya-budaya Kita (1999); dan Horison Sastra In­do­nesia (2002). Buku terje­mah­an­nya ada­lah: Kepada Urania, Joseph Brod­sky (1998) dan Impian Kecem­buruan Seamus Heaney (1998).  Penyair yang pernah tampil dalam Asean Writers’ Conference/ Workshop (Poetry) di Manila (1994); Festival Ipoh III (1996); PSN X/Pertemuan Sastrawan Malaysia I, di Johor Bahru (1999); Fes­ti­val de Winter­­nach­­ten, Den Haag (1999), Poetry on the Road, Bremen (2001), dan inter­nationales literatur­festival, Berlin (2001) ini, sehari-harinya bekerja seba­gai pengajar Ju­rus­an Teater STSI Ban­dung serta redaktur Horison dan Ketua Komite Sastra DKJ (1998-2001). Hampir setahun dia ting­gal di Leiden se­ba­gai penyair tamu atas undang­an Poets of All Nations dan peneliti tamu pada International Institute for Asian Studies, Universitas Leiden.

Agus R. Sarjono was born in Bandung, West Java, July 27 1962. He writes poetry, short stories, essays, and literary criticism, published in numerous outstanding local and abroad magazines (Brunei, Malaysia, England, Germany, Netherlands, France). His poems have been translated into Chinese, English, France, Germany, Dutch, and published in numerous anthologies. His collected poems are: Kenduri Air Mata (1994/1996), Suatu Cerita dari Negeri Angin (2001), and A Story from the Country of the Wind (2001). His published collected essays are: Bahasa dan Bo­na­fidi­tas Hantu (2001), and Sastra dalam Empat Orba (2001). He edited  Saini KM's Puisi dan Beberapa Masalahnya (1993); Catatan Seni (1996); Kapi­ta Selekta Teater (1996); Pembebasan Budaya-budaya Kita (1999); and Horison Sastra In­do­nesia (2002). He had published translation works: Kepada Urania, Joseph Brodsky, and Impian Kecem­buruan Seamus Heaney (1998).  He was invited to read his poems and paperworks in several international festivals and workshops, such as: Asean Writers’ Conference/ Workshop (Poetry) di Manila (1994); Festival Ipoh III (1996); PSN X/Pertemuan Sastrawan Malaysia I, Johor Bahru (1999); Fes­ti­val de Winter­­nach­­ten, Den Haag (1999), Poetry on the Road, Bremen (2001), and inter­nationales literatur­festival, Berlin (2001). He's now teaches at Department of Theatre, STSI (Indonesian Institute of Arts), and works as one of editors of Horison monthly literary magazine. Nearly for one year he was writer in residence and  fellow researcher at International Institute for Asian Studies (IIAS), Leiden University.



Cecep Syamsul Hari dilahirkan di Bandung, 1 Mei 1967. Karya-karya kreatif penyair yang juga dikenal sebagai penulis cerita pendek dan esai ini dipublikasikan antara lain di: Kompas; The Jakarta Post; antologi Negeri Bayang-bayang (1997); Utan Kayu Tafsir dalam Permainan (1998); Derabat: Kumpulan Cerita Pendek Terbaik Kompas 1999 (1999); Beth E. Kolko, et.al. (ed.), Writing in an Electronic World: A Rhetoric with Readings (Amerika Serikat: Longman, 2000). Karya-karya terjemahannya antara lain: Para Pemabuk dan Putri Duyung (Kumpulan Puisi Pablo Neruda, 1996); Hikayat Kamboja (Kumpulan Puisi D.J. Enright, 1996); Ringkasan Sahih Bukhari (kompilasi 2230 hadis Bukhari karya Al-Imam Zain al-Din Ahmad bin Abd al-Latif al-Zabidi, Bandung: Mizan, 1997), dan Rumah Seberang Jalan (Kumpulan Cerita Pendek Pilihan R.K. Narayan, Bandung: Matra Media, 2002). Ia juga mengeditori beberapa buku, di antaranya: Kisah-kisah Parsi Jilid III & IV (C.A. Mees Santport dan H.B. Jassin, Bandung: Mizan, 2000); Mamannoor: Umi Dachlan Imagi dan Abstraksi (2000). Sejumlah puisinya dalam buku kumpulan puisi tunggalnya pertama, Kenang-kenangan ( 1996) diterjemahkan Harry Aveling ke dalam bahasa Inggris, dipublikasikan di Heat Literary International (Australia, 1999) dan Secrets Need Words: Indonesian Poetry 1966-1998 (Amerika Serikat: Ohio University Press, 2001). Saat ini ia bekerja sebagai salah seorang editor majalah sastra Horison.

Cecep Syamsul Hari was born in Bandung, West Java, May 1, 1967. His works published by many journals, newspapers, and anthologies such as: Negeri Bayang-bayang (1997); Utan Kayu Tafsir dalam Permainan (1998); Derabat: Kum­pul­an Cerita Pendek Terbaik Kompas 1999 (1999); Beth E. Kolko, et.al. (ed.), Writing in an Electronic World: A Rhetoric with Readings (United States: Longman, 2000). He translated and edited several books. Among of them are: Para Pemabuk dan Putri Duyung (Selected Poems of Pablo Neruda, 1996); Hikayat Kamboja (Selected Poems of D.J. Enright,1996); Ringkasan Sahih Bukhari (compilation of 2230 Bukhari's hadis by Al-Imam Zain al-Din Ahmad bin Abd al-Latif al-Zabidi, Bandung: Mizan, 1997); Rumah Seberang Jalan (selected short stories of R.K. Narayan, Bandung: Matra Media, 2002);  Kisah-kisah Parsi Jilid III & IV (C.A. Mees Santport dan H.B. Jassin, Bandung: Mizan, 2000); Mamannoor: Umi Dachlan Imagi dan Abstraksi (2000). A number of his poems in his first book, Kenang-kenangan (1996) translated by Harry Aveling and published in Heat Literary International (Australia, 1999) and Secrets Need Words: Indonesian Poetry 1966-1998 (United States: Ohio University Press, 2001). Now he is one of editors of Horison monthly literary magazine. .

D. Zawawi Imron lahir di Sumenep, Madura 1946. Lulusan pesantren. Ia adalah dosen di beberapa perguruan tinggi Islam. Pada 1985 buku kumpulan puisinya Nenek Moyangku Airmata(1985), meraih penghargaan hadiah buku utama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan  dan dua tahun kemudian meraih penghargaan dari Yayasan Buku Utama. Di tahun 1990 kembali Nenek Moyangku Airmata bersama-sama buku kumpuan puisinya yang lain, Celurit Emas (1986) terpilih sebagai buku terbaik versi Yayasan Pusat Bahasa. Buku-bukunya yang telah diterbitkan: Semerbak Mayang (1997), Madura, Akulah Lautmu (1978), Bulan Tertusuk Lalang (1982), Celurit Emas (1986), Derap-Derap Tasbih (1993), Berlayar Di Pamor Badik (1994), Lautmu Tak Habis Gelombang (1996), Bantalku Ombak Selimutku Angin (1996), dan Madura, Akulah Darahmu (1999). Sebuah puisinya, "Bulan Tertusuk Lalang", diangkat ke layar perak oleh sutradara film Indonesia terkemuka, Garin Nugroho. Di tahun 2001 Zawawi diundang sebagai peserta The Winternachten Oversea Poetry Festival di Jakarta, dan di bulan Januari tahun berikutnya, kembali diundang menghadiri The Winternachten Poetry Festival di Belanda.
Saat ini Zawawi tinggal di Batang-Batang, sebuah kampung kecil di ujung Pulau Madura. Dia juga menulis dan mengumpulkan cerita-cerita rakyat Madura, seperti; Ni Peri Tunjung Wulan (1979), Bagascara Ragapadmi (1980), Cerita Rakyat Dari Madura (1993).

D. Zawawi Imron was born in Sumenep, Madura 1946. Educated in a pesantren (religious boarding school). He is  a lecturer of  Training College for Religion Teachers.  Zawawi won the 1985 prize for Best Book. His collection of poems, Nenek Moyangku Airmata (1985) was awarded by the Department of Education and Culture (1987). In 1990, again Nenek Moyangku Airmata, together with his other collection of poems, Celurit Emas (1986) were chosen by Center of  Language Development as the best book of the year. He has already published his collections Semerbak Mayang (1997), Madura, Akulah Lautmu (1978), Bulan Tertusuk Lalang (1982), Celurit Emas (1986), Derap-Derap Tasbih (1993), Berlayar Di Pamor Badik (1994), Lautmu Tak Habis Gelombang (1996), Bantalku Ombak Selimutku Angin (1996), and Madura, Akulah Darahmu (1999). His poem, "Bulan Tertusuk Lalang", has been made into film by the famous Indonesian movie director, Garin Nugroho. In 2001 he participated The Winternachten Oversea Poetry Festival in Jakarta, and in January 2002, again he participated the Winternachten Poetry Festival in The Hague. Recently, Zawawi lives in Batang-Batang, a small village in eastern Madura. He also wrote and collect Madura folklores such as; Ni Peri Tun­­­jung Wulan (1979), Bagascara Ragapadmi (1980), Cerita Rakyat Dari Madura (1993).

Dorothea Rosa Herliany  lahir di Magelang. Setelah lulus dari Fakultas Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Sanata Dharma (Sekarang Universitas Sanata Dharma), Yogyakarta, beberapa tahun ia bekerja sebagai wartawan dan setelah itu menjadi penulis lepas. Selain mencipta puisi, ia juga menulis cerpen, esai, catatan pementasan, dan kritik seni. Tulisannya termuat di berbagai media massa di Indonesia. Beberapa bukunya yang sudah terbit, antara lain Nyanyian Gaduh (1987), Matahari Yang Mengalir (1990), Kepompong Sunyi (1993), Nikah Ilalang (1995), Blencong (1995), Karikatur dan Sepotong Cinta (1996), Mimpi Gugur Daun Zaitun (1999), Perempuan Yang Menunggu (2000) dan Kill The Radio, Sebuah Radio Kumatikan (2001) serta termuat di sejumlah antologi sastra. Saat ini tinggal di sebuah desa di Magelang dan mendirikan IndonesiaTera, sebuah kelompok belajar kebudayaan dan masya­ra­kat, sebuah lembaga swadaya non-profit yang bekerja dalam la­pa­ng­an penelitian, penerbitan, dokumentasi, dan pengembangan ja­ring­an informasi untuk kebudayaan, pendidikan dan kemasya­rakat­an.

Dorothea Rosa Herliany was born in Magelang, Central Java. After graduating from the Faculty of Indonesian Language and Literature of Sanata Dharma Teachers College (now Sanata Dharma University), she worked for several years as a journalist and then freelance writer. Beside poetry, she has also written short stories, essays, and art and drama reviews. Her writings have been published by the major magazines and newspapers in Indonesia. Her books include  Nyanyian Gaduh (1987), Mata­hari yang Mengalir (1990), Kepompong Sunyi (1993), Nikah Ilalang (1995), Blencong, Karikatur dan Sepotong Cinta (1996),  Mimpi Gugur Daun Zaitun  (1999), Perempuan Yang Menunggu (2000) and Kill The Radio, Sebuah Radio Kumatikan (2001). Her writings has also been published in a number of major literary anthologies. Currently she resides in a small village near Magelang, where she is Director of IndonesiaTera, a non-profit organitation working in the area of social and cultural researches, publications, documentations, and the development of information networks relating to culture, education and social awareness.

Hamid Jabbar dilahirkan di Kotogadang, Sumatera Barat, 27 Juli 1949. Karya-karya penyair yang pernah menjadi wartawan Indonesia Express, Singgalang, dan redaktur Balai Pustaka ini antara lain: Paco-Paco (1974), Dua Warna (1975; bersama Upita Agustine), Wajah Kita (1981), Siapa Mau Jadi Raja, Raja Berak Menangis, Zikrullah. Cerpennya, “Engku Datuk Yth. di Jakarta” terpilih masuk ke dalam Antologi Cerita Pendek Indonesia IV (1986; Satyagraha Hoerip [ed.]). Kumpulan puisinya terakhir: Super Hilang, Segerobak Sajak (1998; memenangkan hadiah Yayasan Buku Utama) dan penghargaan seni dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1988).

Hamid Jabbar was born in Kotogadang, West  Sumatera, July 27 1949. His published works are: Paco-Paco (1974), Dua Warna (1975; with Upita Agustine), Wajah Kita (1981), Siapa Mau Jadi Raja, Raja Berak Menangis, Zikrullah. One of  his short-stories, “Engku Datuk Yth. di Jakarta” selected by Satyagraha Hoerip, published in Antologi Cerita Pendek Indonesia IV (1986). His recent published collected poems is Super Hilang, Segerobak Sajak; it  was the winner of Yayasan Buku Utama prize in 1998 and arts award from the Center of Language Development, Department of Culture and Educaton at the same year.

Husni Djamaluddin dilahirkan di Mandar, Sulawesi Selatan, 10 November 1934. Karya-karyanya: Puisi Akhir Tahun (1969), Obsesi (1970), Kau dan Aku  (1973), Anu (1974), Toraja (1979), Sajak-sajak dari Makassar (1974), Bulan Luka Parah (1986), Berenang-renang ke Tepian, dan sejumlah antologi, antara lain Antologi Puisi ASEAN Buku III (1978) dan Horison Sastra Indonesia (2002).  

Husni Djamaluddin was born in Mandar, South Sulawesi, November 10, 1934. His works:  Puisi Akhir Tahun (1969), Obsesi (1970), Kau dan Aku  (197a3), Anu (1974), Toraja (1979), Sajak-sajak dari Makassar (1974), Bulan Luka Parah (1986), Berenang-renang ke Tepian. His works are published in several anthologies, such as: Antologi Puisi ASEAN Buku III (1978) and Horison Sastra Indonesia (2002).  

Joko Pinurbo lahir di Sukabumi, Jawa Barat, 11 Mei, 1962. Lulusan Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 1987. Ia pernah bekerja sebagai staf pengajar di almamaternya dan editor majalah kebudayaan Basis. Sejak 1992, ia bekerja sebagai editor di Penerbit Gramedia. Ia menulis puisi sejak duduk di bangku sekolah menengah atas.  Tulisan-tulisannya dipublikasikan di berbagai surat kabar, majalah, jurnal, dan antologi. Kumpulan puisinya,  Di Bawah Kibaran Sarung (2001) terpilih sebagai salah atau buku terbaik Dewan Kesenian Jakarta. Pada tahun yang sama, kumpulan puisinya yang lain, Celana, juga memperoleh penghargaan Yayasan Lontar. Joko Pinurbo sering diundang dalam berbagai acara diskusi dan pembacaan puisi. Pada tahun 2001 ia diundang sebagai peserta Taaahe Winter­nachten Oversea Poetry Festival di Jakarta, dan di bulan Januari tahun berikut­nya, diundang pula sebagai peserta The Winternachten Poetry Festival di Belanda.

Joko Pinurbo was born in Sukabumi, West Java, May 11, 1962. Graduated from Sanata Dharma University, Yogyakarta in 1987, he became a lecturer in his almamater and worked as an editor in Yogyakarta cultural magazine, Basis.  Since 1992, he also worked as an editor for Gramedia Publishing House. He began to write poetry since he was in high school. His writings were published in many newspapers, magazines/journals, and anthologies. His collection of poems, Di Bawah Kibaran Sarung (2001) was chosen as the best book by the Jakarta Arts Centre. In the same year, his other collection of poems, Celana, has also won the Lontar Literary Award.  Joko Pinurbo oftenly participates in many poetry readings and discussions. In 2001 he participated The Winternachten Oversea Poetry Festival in Jakarta, and in January 2002 he participated again The Winternachten Poetry Festival in The Hague.

Juniarso Ridwan lahir di Bandung, 10 Juni 1955. Semasa menjadi mahasiswa aktif di Institut Teknologi Bandung (ITB) dan aktif  di Grup Apresiasi Sastra (GAS), kini ia mengelola Forum Sastra Bandung. Tulisannya tersebar di berbagai surat jabar dan majalah. Pernah membaca puisi atas undangan sesam penyair di Purwokerto, Solo, Yogyakarta, Depok, Garut, Indramayu, Cirebon, Tasikmalaya dan Jakarta (Taman Ismail Marzuki). Sempat pula baca puisi di Den Haag, Belanda. Kunpulan puisinya, antara lain: Dua Penyair di Depan (1976), Penipu Waktu (1979), Robocop (1994), dan Tanah Terluka (1996), dan diberbagai antologi, antara lain Tangan Besi dan Horison Sastra Indonesia (2002).

Juniarso Ridwan was born in Bandung, June 10, 1955. Graduated from Bandung Institute for Technology. He's the founder of Forum Sastra Bandung. His works published in various magazines and newspapers. He's traveling all over the country to recites his poems, and he used to read ones in Den Haag, Netherlands. His published collected poems are: Dua Penyair di Depan (1976), Penipu Waktu (1979), Robocop (1994), and Tanah Terluka (1996) His works also could be found in a number of anthologies, such as Tangan Besi (1998) and Horison Sastra Indonesia (2002).

Matori A. Elwa lahir di Magelang, Jawa Tengah, 6 September 1965. Sebelum Rajah Negeri Istighfar, kumpulan puisi penyair yang menjalani kehidupan asketik ini adalah Yang Maha Syahwat (1997). Selain itu puisi-puisinya dimuat pula dalam Puisi Indonesia1987, Tiga Penyair di TIM, dan Horison Sastra Indonesia (2002).

Matori A. Elwa born in Magelang, Wets Java, September 1965. His collected poems are: Yang Maha Syahwat (1997) and Rajah Negeri Istighfar (2001). A lot number of his poems also could be found in various important literary anthologies, like: Puisi Indonesia 1987, Tiga Penyair di TIM, and Horison Sastra Indonesia (2002)

Nenden Lilis Aisyah lahir di Garut, Jawa Barat, 26 September 1971. Karya-karyanya antara lain dimuat di Kompas, Pikiran Rakyat, Republika, Media Indonesia. Kumpulan puisi tunggalnya adalah Negeri Sihir, diluncurkan pada 1999. Selain itu karya-karynaya (puisi dan cerita pendek) dimuat  pula dalam Mimbar Penyair Abad 21 (1996), Dua Tengkorak Kepala: Kumpulan Cerita Pendek Terbaik Kompas 2000, dan Dari Fansuri ke Handayani (2001). Bersama Agus R. Sarjono dan Soni Farid Maulana, ia diundang membaca puisi and The Winternachten Poetry Festival di Belanda, pada 1999.

Nenden Lilis Aisyah was born in Garut, West Java, September 26, 1971. She's one of the most important woman poets working in Bahasa Indonesia today. Her works widely published in many newspapers, journals, magazines, and anthology. Her collected poems, Negeri Sihir, published in 1999. Beside poems, she writes short-stories, and one of her short-stories was selected into Dua Tengkorak Kepala: Kumpulan Cerita Pendek Terbaik Kompas 2000. Along with Agus R. Sarjono and Soni Farid Maulana, she was invited to The Winternachten Poetry Festival Netherlands in1999.

Oka Rusmini dilahirkan di Jakarta, 11 Juli 1967. Saat ini tinggal di Denpasar. Antologi yang memuat puisi-puisinya, antara lain Doa Bali Tercinta (Sanggar Cipta Budaya, 1983), Rindu Anak Mendulang Kasih (Balai Pustaka, 1987), Perjalanan Malam (Himsa, 1991), Ambang (Bentang, 1992), Teh Ginseng (Sanggar Minum Kopi, 1993), Negeri Bayang-Bayang (Yayasan Seni Surabaya, 1996), Mimbar Penyair Abad 21 (Balai Pustaka, 1996), Utan Kayu: Tafsir dalam Permainan (Yayasan Kalam, 1998), The Morning After (Darma Printing Australia, 2000). Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia (Grasindo,2000), Bali Living in Two Worlds  (Schwabe-Basel) edited by Urs Ramseyer, (Museum der Kulturen, Basel, 2000). Di samping itu, sejumlah puisi dan cerpennya juga muncul di berbagai media-massa serta jurnal kebudayaan, termasuk Matra, Kalam, Horison, Republika, Cerpennya, “Putu Menolong Tuhan”, terpilih sebagai cerpen terbaik Femina 1994 dan diterjemahkan oleh Vern Cork dalam buku Bali Behind the Seen (Australia, 1996). Noveletnya, Sagra, memenangi cerita bersambung terbaik Femina 1998. Cerpennya, “Pemahat Abad” terpilih sebagai cerpen terbaik 1990-2000 Majalah Sastra Horison. Pada 2002 menerima penghargaan puisi terbaik Jurnal Puisi. Pada 1992, ia diundang sebagai penyair tamu dalam Festival Kesenian Yogya IV.  Mengikuti Mimbar Penyair Abad 21 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 1996. Dan pada 1997 mengikuti Writing Program penulis Asean. Novelnya yang telah ter­bit,Tarian Bumi (2000), Sagra Kumpulan Cerpen (2001).

Oka Rusmini was born in Jakarta, July 11 1967. She now lives in Denpasar, Bali. Her works were published in many newspapers, magazines and anthologies, like: Doa Doa Bali Tercinta (Sanggar Cipta Budaya, 1983), Rindu Anak Mendulang Kasih (Balai Pustaka, 1987), Perjalanan Malam (Himsa, 1991), Ambang (Bentang, 1992), Teh Ginseng (Sanggar Minum Kopi, 1993), Negeri Bayang-Bayang (Yayasan Seni Surabaya, 1996), Mimbar Penyair Abad 21 (Balai Pustaka, 1996), Utan Kayu: Tafsir dalam Permainan (Yayasan Kalam, 1998), The Morning After (Darma Printing Australia, 2000), Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia (Grasindo,2000), Bali Living in Two Worlds  (Schwabe-Basel) edited by Urs Ramseyer (Museum der Kulturen, Basel, 2000). “Putu Menolong Tuhan” was one of her short-stories selected by Femina Magazine as the best short-story in 1998, and it has been translated by Vern Cook, published in Bali Behind the Seen (Australia, 1996), and “Pemahat Abad”  was her short-story selected by Horison literary magazine as one of the best stories, 1990-2000. In 2002 her poems were awarded by Jurnal Puisi as the best. Tarian Bumi, her novel,  and Sagra, her collected short-stories, were published by Indonesia Tera in  2000 and 2001.

Saini KM lahir di Sumedang, Jawa Barat, 16 Juni 1938. Menyelesaikan pendidikan kesarjaannnya pada Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Keguruan Sastra dan Seni Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Bandung. Ia menulis puisi, esai, drama, dan novel. Sejumlah drmanya antara lain: Pangeran Sunten Jaya (1973), Ben Go Tun (1977), Serikat Kaca Mata Hitam (1979) dan Sang Prabu (1981), Kerajaan Burung (1980), Kallpataru (1981), Sebuah Rumah di Argentina (1980) dan Ken Arok (1985). Kumpulan esainya yang sudah terbit antara lain Beberapa Gagasan Teater (1981), Dramawan dan Karyanya (1985) serta Teater Indonesia dan Masalahnya (1988). Sementara kumpulan puisinya yang telah diterbitkan adalah: Nyanyian Tanah Air (1968), Rumah Cermin (edisi I, 1979), Sepuluh Orang Utusan (1989), dan Rumah Cermin (edisi II, 1996). Sajak-sajaknya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Perancis, dan Jerman.

Saini KM was born in Sumedang, West Java, June 16, 1938. Graduated from English Literature Department, Institute of Teacher Training, Bandung. He wrote poems, essays, plays, and novels. Some of his plays are: Pangeran Sunten Jaya (1973), Ben Go Tun (1977), Serikat Kaca Mata Hitam (1979) dan Sang Prabu (1981), Kerajaan Burung (1980), Kallpataru (1981), Sebuah Rumah di Argentina (1980) dan Ken Arok (1985). His published collected essays are: Beberapa Gagasan Teater (1981), Dramawan dan Karyanya (1985) serta Teater Indonesia dan Masalahnya (1988). Some of his published collected poems are: Nyanyian Tanah Air (1968), Rumah Cermin (edisi I, 1979), Sepuluh Orang Utusan (1989), dan Rumah Cermin (edisi II, 1996). His poems have been translated into English, French, and German.

Sapardi Djoko Damono lahir di Solo, 20 Maret 1940. Kumpulan sajaknya yang sudaah diterbitkan adalah: Duka-Mu Abadi (1969), Mata Pisau dan Akuarium (keduanya terbit pada 1974), Perahu Kertas (1983), Sihir Hujan (1984), Hujan Bulan Juni (1994), Arloji (1998), dan Mata Jendela (2002). Sajak-sajaknya telah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Arab, Hindi, Cina, Jepang, Belanda, Perancis, Inggris, Jerman, Bali, dan Jawa. Sedangkan karya-karya terjemahannya antara lain: Puisi Klasik Cina, Puisi Parsi Klasik, Puisi Brazilia Modern, Sepilihan Sajak George Safiris, Mendorong Jack Kunti-kunti: Sepilihan Sajak Australia, Afrika yang Resah (terjemahan dari “Song of Lawino” dan “Song of Ocol” oleh Okot p’Bitek, "Lelaki Tua dan Laut" (dari The  Oldman and the Sea, Hemingway), Daisy Manis (Daisy Miller, Henry James), Codot di Pohon Kemerdekaan (kumpulan cerpen Albert Wend dari Samoa), Tiga Sandiwara Ibsen, Duka Cita bagi Electra, (drama trilogi Eugene O’Neill). Ia adalah penerima Cultural Award (1978) dari Australia, Anugerah Puisi Putra (1983) dari Malaysia, SEA-Write Award (1986) dari Thailand, Anugerah Seni (1990) dari Pemerintah RI, dan Kalyana Kretya (1996) dari Menristek RI.

Sapardi Djoko Damono was born in Solo, March 20, 1940. His published collected poems are: Duka-Mu Abadi (1969), Mata Pisau dan Akuarium (keduanya terbit pada 1974), Perahu Kertas (1983), Sihir Hujan (1984), Hujan Bulan Juni (1994), Arloji (1998), dan Mata Jendela (2002). His poems widely have been translated into Arabic, Hindi, China, Japan, Dutch, France, English, Germany, Balinese, and Javanese. He's also broadly known as a creative translator. His translation works are: Puisi Klasik Cina, Puisi Parsi Klasik, Puisi Brazilia Modern, Sepilihan Sajak George Seferis, Mendorong Jack Kunti-kunti: Sepilihan Sajak Australia, Afrika yang Resah (the translation of “Song of Lawino” dan “Song of Ocol” oleh Okot p’Bitek, Lelaki Tua dan Laut (the translation of The  Old Man and the Sea, Hemingway), Daisy Manis (the translation of Daisy Miller by Henry James), Codot di Pohon Kemerdekaan (collected short-stories of Albert Wend from Samoa), Tiga Sandiwara Ibsen, Duka Cita bagi Electra, drama trilogi Eugene O’Neill). Sapardi received Cultural Award (Australia, 1978), Anugerah Puisi Putra (Malaysia, 1983), SEA-Write Award (Thailand, 1986), Arts Award from RI Government (1990), and  Kalyana Kretya (1996) from RI Ministry of Research and Technology.

Sitor Situmorang dilahirkan di Harianboho, Tapanuli Utara, Sumatera Utara, 2 Oktober 1924. Kumpulan cerpennya, Pertempuran dan Salju di Paris (1956), mendapat hadiah Sastra Nasional BMKN 1955/1956 dan kumpulan sajaknya, Peta Perjalanan (1976), memperoleh Hadiah Puisi Dewan Kesenian Jakarta 1976/1977. Karyanya yang lain Surat Kertas Hijau (1954), Jalan Mutiara (1954), Dalam Sajak (1955), Wajah Tak Bernama (1956), Rapar Anak Jalang (1955),  Zaman Baru (1962),  Pangeran (1963),  Sastra Revolusioner (1965),  Dinding Waktu (1976), Sitor Situmorang Seorang Sastrawan Angkatan 45 Penyair Danau Toba (1981), Danau Toba (1981), Angin Danau (1982),  Bunga di Atas Batu (1989), Rindu Kelana (1994), Salju di Paris (1994). Hasil Penelitiannya mengenai kebudayaan Batak Toba Na Sae (1993), dan Guru Somalaing dan Modigliani “Utusan Raja Rom” (1993). Karya-karya terjemahannya antara lain Triffid Mengancam Dunia (1953, John Wyndham), Hanya Satu Kali (1954, John Galswarthy dan Robert Midlemans), Sel (1954, William Saroyan), Bethlehem (1954, Nijhoff), Hari Kemenangan (1955, Nijhoff), Perwira Tuhan (1955, R.S. Macnocol), Jalan ke Joljuta (1956, D.L. Sayers),  Menentukan Sikap (1957, E du Perron), Perjalanan si Pinto (W.S. Bronson), Hikayat Lebak (1977, Rob Nieuwenhuys). Karyanya banyak dijadikan bahan penelitian di dalam dan luar negeri.

Sitor Situmorang was born in Harianboho, North Tapanuli, North Sumatera, October 2, 1924. His works are: Pertempuran dan Salju di Paris (1956), Peta Perjalanan (1976), Surat Kertas Hijau (1954), Jalan Mutiara (1954), Dalam Sajak (1955), Wajah Tak Bernama (1956), Rapar Anak Jalang (1955),  Zaman Baru (1962),  Pangeran (1963),  Sastra Revolusioner (1965),  Dinding Waktu (1976), Sitor Situmorang Seorang Sastrawan Angkatan 45 Penyair Danau Toba (1981), Danau Toba (1981), Angin Danau (1982),  Bunga di Atas Batu (1989), Rindu Kelana (1994), Salju di Paris (1994). Hasil Penelitiannya mengenai kebudayaan Batak Toba Na Sae (1993), and Guru Somalaing dan Modigliani “Utusan Raja Rom” (1993). He's widely known as a creative translator. His translation works are: Triffid Mengancam Dunia (1953, John Wyndham), Hanya Satu Kali (1954, John Galsworthy and Robert Midlemans), Sel (1954, William Saroyan), Bethlehem (1954, Nijhoff), Hari Kemenangan (1955, Nijhoff), Perwira Tuhan (1955, R.S. Macnocol), Jalan ke Joljuta (1956, D.L. Sayers),  Menentukan Sikap (1957, E du Perron), Perjalanan si Pinto (W.S. Bronson), Hikayat Lebak (1977, Rob Nieuwenhuys).

Soni Farid Maulana lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat, 19 Februari 1962. Lulus dari sebuah sekolah menengah atas di kotanya,  ia melanjutkan studinya di jurusan teater STSI Bandung. Di masa mahasiswanya inilah Soni mulai menulis puisi. Soni banyak menulis tema kesepian dan kesunyian di samping tema-tema politik, masalah sosial, agama, tema-tema yang kerap muncul dalam, dan menjadi refleksi dari, kehidupan sehari-hari.  Sejumlah puisinya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dan Jerman dan dipublikasikan dalam antologi  Winternachten Festival (Den Haag, 1999) dan Orientierungen, sebuah jurnal kebudayaan yang terbit di Jerman,  (2/2000, Universitat Bonn, Jerman). Buku-bukunya yang telah diterbitkan adalah : Di Luar Mimpi/Outside Dreams(PT. Rekamen­dia Multipra­karsa, 1997) and Kita Lahir Sebagai Dongengan/We Born as a  Fairy Tale (Indonesia Tera, 2000). Karya-karyanya juga dimuat dalam sejumlah antologi, antara lain; Gelak Esai dan Ombak Sajak/The Laughter of Essay and the Wave of Poem (Kompas 2001); Horison Sastra Indonesia/Horison Sastra Indonesia (Horison & The Ford Foundation, 2002). Soni Farid Maulana beberapa kali diundang  membaca puisi oleh Dewan Kesenian Jakarta dan tampil membacakan puisinya di Taman Ismail Marzuki (TIM). Ia diundang sebagai peserta Pertemuan Sastrawan Asia Tenggara di Queezon City, Filipina, 1990, dan The Winternachten Poetry Festival di Belanda, 1999. Sejak 1989 ia bekerja sebagai wartawan kortan Pikiran Rakyat, Bandung.

Soni Farid Maulana was born in Tasikmalaya, West Java, February 19, 1962. After finishing high school in his hometown, Tasikmalaya, he became a student in the Theatre  Department, STSI Bandung. It was in his days as a student in STSI that he began to write poetry. Soni oftenly writes about loneliness and tranquility, as well as other themes such as politics, social problems, religion, death, themes that always appear in everyday life and sometime enchanted to be made a reflection out of it. Some of his poetry have been translated into Dutch and German and published in the Anthology of Winternachten Festival (Den Haag 1999) and a German Journal;  ‘Orientierungen’ (2/2000, Universitat Bonn, Germany). His collection of poems are: Di Luar Mimpi (1997) and Kita Lahir Sebagai Dongengan (2000). His works are also included in several anthologies, such as; Dari Fansuri Ke Handayani (Horison & The Ford Foundation, 2001); Gelak Esai dan Ombak Sajak (Kompas 2001). Soni Farid Maulana had been invited several times by the Jakarta Arts Council to perform in Taman Ismail Marzuki (TIM) presenting his poetry. He also participated the South East Asian Writers Conference in Queezon City, The Philipines in 1990, and The Winternachten Poetry Festival in The Hague, in 1999. Since 1989 he worked as an editor in a major neswpaper in Bandung, Pikiran Rakyat.

Sosiawan Leak lahir di Solo, 23 September 1967. Lulus SMA, ia melanjutkan pendidikannya di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret, Solo. Tulisan-tulisannya dipublikasikan di berbagai surat kabar, majalah, dan antologi. Karya-karyanya yang sudah diterbirkan adalah: Ekstase dalam Sketsa (1991), Gelar Syair Mengalir (1991), Mozaik (1991), Panorama Dunia Keranda (1991), Bias Luka (1992), Kasidah Jalan Raya (1992), Revitalisasi Sastra  Pedalaman (1993), Parade Puisi (1993), Kicau Kepodang I (1993), Antologi Puisi Jawa Tengah (1994), Sajak-sajak Gurih Sedap (1995), dan Dari Bumi Lada (1996).

Sosiawan Leak was born in Solo, September 23, 1967. Dgrauated from Faculty of Social and Political Science, Seblas Maret University, Solo. His poems published in various newspapers, magazines, journals, and anthology. His works are: Ekstase dalam Sketsa (1991), Gelar Syair Mengalir (1991), Mozaik (1991), Panorama Dunia Keranda (1991), Bias Luka (1992), Kasidah Jalan Raya (1992), Revitalisasi Sastra  Pedalaman (1993), Parade Puisi (1993), Kicau Kepodang I (1993), Antologi Puisi Jawa Tengah (1994), Sajak-sajak Gurih Sedap (1995), dan Dari Bumi Lada (1996).

Sutardji Calzoum Bachri dilahirkan di Rengat, Riau, 24 Juni 1941. Pada 1974-75 mengikuti International Writing Program di Iowa University, Amerika Serikat, dan sejak 1979 hingga sekarang menjabat redaktur majalah sastra Horison. Karya-karyanya: O (1973), Amuk (1977; mendapat Hadiah Puisi DKJ 1976-77), Kapak (1979), O Amuk Kapak (1981). Sejumlah puisinya diterjemahkan Harry Aveling dan dimuat dalam antologi berbahasa Inggris: Arjuna in Meditation (1976; Calcutta). Pada 1979 ia menerima anugerah SEA Write Award dan sembilan tahun kemudian dilimpahi Penghargaan Sastra Chairil Anwar. Sebelumnya, peraih penghargaan tertinggi dalam bidang kesusastraan di Indonesia itu adalah Mochtar Lubis.

Sutardji Calzoum Bachri was born in Rengat, Riau, June 24, 1941. He participated in International Writing Program at Iowa University, United States. He is editor of Horison monthly literary magazine since 1979. His works are: O (1973), Amuk (1977), Kapak (1979), O Amuk Kapak (1981). A number of his poems were translated by Harry Aveling, published in Arjuna in Meditation (1976; Calcutta). He received SEA Write Award in 1979, and nine years after accepted  Chairil Anwar Literary Award (1988).

Taufiq Ismail lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat (25 Juni 1935) dan dibesarkan di Pekalongan, Jawa Tengah. Dia menerbitkan 7 buku puisi dan mengedit 5 antologi sastra. Ketika pergolakan mahasiswa 1966 dia dikenal lewat kumpulannya Tirani dan Benteng. Salah seorang pendiri majalah sastra bulanan Horison (1966), sampai kini Redaktur Senior. Kumpulan puisinya terbaru berjudul Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia. Karyanya diterje­mahkan ke dalam bahasa Belanda, Inggeris, Jepang, Cina, Arab dan Perancis. Dia dokter hewan dan ahli peternakan. Baca puisi di dalam negeri dan di 24 kota di mancanegara sejak 1970. Penyair tamu di Universitas Iowa (1971-72, 1991-92) dan Dewan Bahasa & Pustaka, Kuala Lumpur (1993). Aktif dalam gerakan sastra ke sekolah, dia mengedit 4 jilid Horison Sastra Indonesia, terdiri dari Kitab Puisi, Cerpen, Nukilan Novel dan Drama, tebal 2560 halaman, diluncurkan Januari 2002 dan dipersembahkan untuk perpustakaan SMU se-Indonesia.

Taufiq Ismail was born in Bukittinggi, West Sumatera (25 June 1935) and raised in Pekalongan, Central Java. He published 7 poetry books and edited 5 anthologies. During the 1966 student upheaval he was noted for his poems in Tirani (Tyranny) and Benteng (Fortress). He was one of the founders of Horison, (1966) the monthly literary magazine, and now its Senior Editor. His recent poems was collected in Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, literally The Shame (Mine) for Being an Indonesian (2000).
His works translated into Dutch, English, Japanese, Chinese, Arabic and French. He is doctor in veterinary medicine and animal husbandry. Read his poems nationwide and in 24 cities outside Indonesia, since 1970. Writer-in-residence at the University of Iowa (1971-72, 1991-92) and Dewan Bahasa & Pustaka, Kuala Lumpur (1993). Active in campaigning literature into schools, he edited 4 volumes, 2560 pages anthology of Indonesian poetry, short stories, novel fragments and drama, titled Horison Sastra Indonesia, launched January 2002, distributed to Indonesian high school libraries.

Zeffry J. Alkatiri, lahir 30 Agustus 1960 di Jakarta dan dibesarkan di kota yang sama. Berasal dari keluarga campuran Arab, Pakistan, dan Betawi. Menyelesaikan gelar kesarjanaan S1 tahun 1987 dari Jurusan Rusia FSUI dan menyelesaikan gelar kesarjanaan S2 tahun 1997 dari Kajian Wilayah Amerika UI. Profesi sebagai dosen di Jurusan Rusia FSUI. Buku yang sudah ditulisnya Manusia, Mitos & Mitologi (FSUI, 1998) Dari Pushkin Sampai Perestorika: Konflik Nilai Dalam Sejarah Perkembangan Sastra Rusia Abad 19-20 (FSUI,1999). Buku Kumpulan puisi pertama ditulis pada tahun 1998 berjudul Pintu, Etalase, Batavia Centrum. Tahun 2001, naskah bukunya, Dari Batavia Sampai Jakarta 1619-1999, berhasil meraih penghargaan pertama dalam Sayembara Kumpulan Puisi Terbaik tahun 1998-2000 yang diselenggarakan oleh DKJ-TIM.

Zeffry J. Alkatiri was born in  Jakarta, August 1960, and grow up at the same city. Graduated from Rusian Literature Department, University of Indonesia, in 1987, and post-graduated from American Territorial Studies at the same university. Now he's a lecturer at his alma-mater. His published books are: Manusia, Mitos & Mitologi (FSUI, 1998), Dari Pushkin Sampai Perestroika: Konflik Nilai Dalam Sejarah Perkembangan Sastra Rusia Abad 19-20 (FSUI,1999). His published collected poems are: Pintu, Etalase, Batavia Centrum (1998) and Dari Batavia Sampai Jakarta 1619-1999 (2001). The last book is the winner of The Best Collected Poems selected by Jakarta Arts Council.

Dr. Ahmad Kamal Abdulah, Ph.D (Kemala)  dikenal sebagai penyair penting di Malaysia dan sudah menerbitkan delapan kumpulan puisinya yakni Timbang Terima (1970), Meditasi (1972), Era (1974), Kaktuskaktus (1976), Ayn (1983),  Pelabuhan Putih (1989), Titir Zikir (1995) dan MIM (1999).  Dua terakhir memenangkan Hadiah Sastera Perdana Malaysia. Dia giat membicarakan puisi nusantara dan dunia secara bandingan dan sudah membaca puisinya pada festival Struga (1986),
Tokyo (1992),  Box Theatre London (1992),  Iowa City (1993) Istiqlal Jakarta (1995) dan Sarajevo Bosnia Poetry Days (1997).  Kemala menerima SEA Write Awards (1986). Beliau adalah Presiden Persatuan Kesusasteraan Bandingan Malaysia.  Kemala juga dikenal sebagai direktor pertama bagi Pengucapan Puisi Dunia Kuala Lumpur dan editor pertama majalah puisi PERISA anjuran Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia (1986) yang sekarang ini sudah mentradisi di Malaysia.

Dr. Ahmad Kamal Abdulah, Ph.D (Kemala) known in Malaysia as a leading national poet and had published 8 volumes of collection of poems i.e.  Timbang Terima (1970), Meditasi (1972), The Cactus (1976), Ayn (1983), The White Harbour (1989), Zikr Serenade (1995) and MIM (1999). The two last books  winner of the prestigous the Prime Malaysian Literary Awards (1995 & 1999).  He has participated in various international poetry festivals such as Struga Poetry Evenings (1986),  Box Theatre London (1992), Iowa City (1993) while he is a fellow with IWP, University of Iowa, Istiqlal International Poetry Reading (1995) and The Bosnian Poetry Days (1997). Kemala is the awardee of SEA Write Awards (1986). And he is also the president of Malaysian Comparative Literature Association and the first director of Kuala Lumpur Poetry Reading International (1986) and the first editor of Malaysia PERISA (Poetry Journal).   Kemala discusses poetry regionally and internationally.


Gerrit Komrij lahir di Winterswijk, 1944. Ia sejak lama termasuk penyair paling populer di Belanda dan disebut sebagai ‘Dichter des Vaderlands’ (penyair negara). Tidak hanya itu. Dia juga adalah esais yang cerdas, kritikus yang tajam, dan penerjemah berbakat. Pada tahun 1968 dia menerbitkan kumpulan sajaknya yang pertama Maagdenburger halve bollen en andere gedichten. Dia menjadi terkenal karena  humor-humornya yang garang dan teknik persajakannya yang sempurna. Dia termasuk penyair Belanda yang diundang dalam festival Poetry International yang pertama di Rotterdam (1970).

Gerrit Komrij juga dipandang sebagai penyusun bunga rampai yang paling pandai mengenai puisi Belanda dari abad keduabelas sampai dengan abad keduapuluh. Ia membuka ilmu persajakan untuk publik pembaca yang luas. Kritik-kritik serta pandangan-pandangannya mengenai puisi yang terbit dalam bentuk buku serta surat kabar dan majalah –baik harian maupun mingguan– sering dijadikan acuan dalam meluaskan perhatian pembaca mengenai ilmu persajakan pada dasawarsa-dasawarsa terakhir. Jumlah karangannya pun banyak pula, meliputi puisi, esai, kritik dan artikel-artikel. Belum kelewat lama ini, telah terbit pula Awater, majalah puisi yang didirikannya. Sebuah majalah yang dimaksudkan untuk memberi penerangan mengenai ilmu perpuisian kepada para pembaca yang umum. Dan Gerrit Komrij dikenal luas juga sebagai performer yang hebat bagi pembacaan puisinya sendiri.

Gerry van der Linden (Eindhoven, 1952) mempublikasikan sajak-sajaknya untuk pertama kali di majalah Gedicht. Tiga tahun kemudian dia menerbitkan kumpulan sajaknya yang pertama berjudul De Aantekening. Selepas itu, dia meninggalkan Belanda untuk bebe­rapa lama dan tinggal serta bekerja di San Francisco, tempat ia antara lain memimpin bengkel puisi, membacakan sajak-sajaknya dan menerjemahkan. Pada tahun 1990, kumpulan sajaknya yang kedua Val op de rand terbit di Belanda. Dalam kumpulan sajaknya tersebut, ia menunjukkan diri sebagai penyair lirik yang membangkitkan minat di satu sisi dan sekaligus bersikap bandel. Tema-tema pokoknya umumnya berkisar antara: pertalian hubungan, maut, anak, keluarga, perjalanan. Dan dalam seluruh tema itu selalu saja terdapat ketegangan tersembunyi. Beberapa kumpulan sajaknya sejak itu bermunculan. Gerry van der Linden kemudian juga mulai menulis prosa. Pada tahun 2001, terbit kumpulan sajak yang terbarunya Uitweg. Di dalamnya, sang ayahnya yang meninggal dunia memegang peranan penting. Pada tahun 1998 Gerry van der Linden pergi ke Indonesia untuk pertama kalinya. Bersama Remco Campert dan beberapa penyair Indonesia, ia membacakan sajak-sajaknya di Jakarta dan Bandung.

Hagar Peeters lahir di Amster­dam, Belanda, 1972. Dia me­nem­puh studi Sejarah Kebu­da­ya­an, Universitas Utrecht dan memenangkan the National The­sis Award 2001 untuk tesis terbaik yang ditulis di Belanda. Topik tesisnya adalah “Humani­sasi” Pengadilan Kriminal Belanda Sejak 1945. Pada bulan Mei 2002, sejarah biografis yang ber­dasar pada tesisnya akan diterbitkan.
Pada tahun 1999 terbit kum­pul­an sajaknya yang pertama Genoeg gedicht over de liefde vandaag (Cukup Sekian Puisi tentang Cinta Hari Ini).  Pada tahun 2000, dia masuk nomi­na­si dalam NPS Culture Award.
Hagar Peeters banyak menampilkan sajak-sajaknya di Belanda. Pada bulan Mei 2000, dia tampil membacakan sajak-sajaknya di Kepulauan Antilla (Dutch Antilles).

Mustafa Stittou lahir di Tetouan, Marokko, pada tahun 1974, dan tumbuh Lelystad. Ia kini tinggal dan bekerja di Amsterdam.  Selain belajar filsafat, Ia menulis ulasan puisi di majalah mingguan Vrij Nederland. Pada tahun 1994 terbit  kumpulan sajak pertamanya  Mijn Vormen (Bentukku). Pada tahun 1998 terbit Mijn Gedichten  (Sajak-sajakku). Dua kumpulan sajaknya tersebut mendapat pujian. Stittou menulis sajak-sajak lucu dan semaunya, yang ketika dipanggungkan hadir dengan penuh semangat. Ia bersedia melihat puisi pada apa saja dan ingin tahu tentang yang asing maupun yang sudah dikenal.
Ia berhasil mandapat nama baik sebagai performer di beberapa festival sastra, seperti Poetry International di Rotterdam pada tahun 1994. Stittou juga menulis beberapa sajak pesanan, antara lain untuk Nationale Dodenherdenking 1999 (peringatan para korban yang gugur dalam Perang Dunia II). Mustafa Stittou mengikuti Festival Winternachten, pada bulan Januari 2001.

Ramsey Nasr (1974) adalah pemain sandiwara, penyair, penulis dan sutradara. Keberhasilannya sebagai teaterawan dimulai pertama kali dengan monolognya De doorspeler. Pada tahun 2000, terbit kumpulan sajaknya yang pertama 27 gedichten & Geen Lied. Sebagai pemain teater dia bergabung selama lima tahun dengan salah satu rombongan sandiwara paling penting di Belanda dan Vlaanderen. Dia pernah memainkan De doorspeler di Palestina dan Yordania dalam versi bahasa Inggris-Arab. Ia pun telah bermain dalam sejumlah film, dan kini tengah menjadi pemain utama dalam serial TV terdiri dari tiga jilid De enclave. Ramsey Nasr tampil dalam festival-festival puisi penting di wilayah berbahasa Belanda. Tahun 2001 terbit novelnya yang pertama. Dia juga menulis dan menyutradarai Leven en Hel - de operette. Sehari sebelum berangkat ke Indonesia, dia menyutradarai Il Re Pastore, sebuah opera dari Mozart, di Gent (Belgia).

Remco Campert  lahir di Den Haag, 1929.Namanya mulai bersinar setelah ia menerbitkan kumpulan sajaknya yang pertama Vogels vliegen toch (1951). Sajak-sajaknya menunjukkan keengganan terhadap hal-hal penting dan dalam. Intisari dari kesungguhan, kemarah­an dan sebagainya, dibungkusnya dengan bahasa yang ri­ngan. Ia mendedikasikan bakatnya bagi keragaman masya­ra­kat kecil dengan kegigihan dan integritas yang tinggi. Remco Campert pernah menjadi redaktur majalah Podium (1954-1955 dan 1970- 979) dan Tirade (1957). Dari tahun 1973 sampai 1976 dia punya majalah sendiri Gedicht (Sajak) yang kini dianggap klasik dan dicari para kolektor. Remco Campert bukan hanya seorang penyair, melainkan juga banyak menulis prosa dan esai. Kolom kecilnya mun­cul setiap dua hari sekali di koran terbesar Belanda dalam kolom CaMu (Campert & Mulder), selama ber­ta­­­hun-tahun dan telah menjadi bacaan kegemaran para koran itu. Dalam festival Poetry International di Rotterdam, Remco memegang peranan penting sejak 1972, baik seba­gai peserta, sebagai penyaji, sebagai penerjemah, maupun sebagai tuan rumah. Dan pada tahun 1997, dia menjadi Ketua Poetry International Advisor Board. Ia juga salah seorang pendiri Yayasan Poets of All Nations (PAN). Remco Campert adalah sastrawan yang sangat produk­tif. Buku demi buku kumpulan sajaknya telah terbit, de­mikian pula esai dan novelnya. Kumpulan sajaknya Remco Campert – Dichter (Remco Campert – Sang Penyair), da­pat dija­di­kan rujukan bagi pembaca yang ingin bertemu dengan sajak-sajaknya secara relatif lengkap. Dedikasi, produkti­vitas, dan kualitas karya-karyanya bukan hanya menempat­kan Remco Campert sebagai penyair paling terkenal di ne­ge­ri­nya, tetapi juga mengukuhkan kenyataan bahwa hingga saat ini dia tetap merupakan salah satu penyair paling indah dalam khasanah sastra berbahasa Belanda. Sepilihan sajak-sajaknya telah diterjemahkan oleh Linde Voûte ke dalam bahasa Indonesia dan terbit dalam edisi dwibahasa dengan judul Ratapan/Lamento.

Rudy Kousbroek lahir di Pemantang Siantar, 1929. Bersama Remco Campert ia mendirikan majalah Braak pada tahun 1950, yang berperan besar dalam gerakan puisi baru dan berdampak luas pada para penyair-penyair Belanda selepas Perang Dunia II. Dia belajar ilmu pasti dan fisika di Amsterdam dan kemudian bahasa Cina dan Jepang di Paris, dimana dia tinggal selama puluhan tahun. Pada tahun 1953, ia memulai debutnya sebagai penyair dengan menerbitkan kumpulan sajaknya pertama Begrafenis van een keerkring. Dia terutama sangat terkenal sebagai seorang esais dan penulis polemis, dengan terutama memberi reaksi terhadap iklim kebudayaan di Belanda. Ketika kepadanya dianugerahkan P.C. Hooftprijs 1975, yang adalah merupakan hadiah negara, dia mengucapkan terima kasih dengan kata: ‘Di Belanda kebudayaan tidak begitu perlu.” Rudy Kousbroek, yang kecuali menulis esei tak berhenti menulis puisi dan mempublikasikan sebuah roman, tetap menyimpan hatinya bagi Indonesia. Dia selalu ingat masa kecil dan masa remajanya di Nederlands Indië kolonial pada masa sebelum perang dan masa pendudukan Jepang. Itulah yang menyebabkan dia berkali-kali datang kembali ke Indonesia, negeri kelahirannya. Tentang itu, ia menerbitkan antara lain Het Oostindisch kampsyndroom en Terug naar Negeri Pan Herkomst. Bahwa hingga saat ini ia tetap terpikat pada masa lampau, terbukti dari diterbitkannya kumpulan sajak Heimwee pada tahun 2001, yang merupakan kumpulan puisi Amir Hamzah yang dikumpulkan dan diterjemahkan oleh Rudy Kousbroek dan Profesor A. Teeuw. Dengan ini mereka ingin memperkenalkan penyair besar Indonesia ke wilayah publik berbahasa Belanda.



1Taufiq Ismail lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat (25 Juni 1935) dan dibesarkan di Pekalongan, Jawa Tengah. Dia menerbitkan 7 buku puisi dan mengedit 5 antologi sastra. Ketika pergolakan mahasiswa 1966 dia dikenal lewat kumpulannya Tirani dan Benteng. Salah seorang pendiri majalah sastra bulanan Horison (1966), sampai kini Redaktur Senior. Kumpulan puisinya terbaru berjudul Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia. Karyanya diterje­mahkan ke dalam bahasa Belanda, Inggeris, Jepang, Cina, Arab dan Perancis. Dia dokter hewan dan ahli peternakan. Baca puisi di dalam negeri dan di 24 kota di mancanegara sejak 1970. Penyair tamu di Universitas Iowa (1971-72, 1991-92) dan Dewan Bahasa & Pustaka, Kuala Lumpur (1993). Aktif dalam gerakan sastra ke sekolah, dia mengedit 4 jilid Horison Sastra Indonesia, terdiri dari Kitab Puisi, Cerpen, Nukilan Novel dan Drama, tebal 2560 halaman, diluncurkan Januari 2002 dan dipersembahkan untuk perpustakaan SMU se-Indonesia.

Taufiq Ismail was born in Bukittinggi, West Sumatera (25 June 1935) and raised in Pekalongan, Central Java. He published 7 poetry books and edited 5 anthologies. During the 1966 student upheaval he was noted for his poems in Tirani (Tyranny) and Benteng (Fortress). He was one of the founders of Horison, (1966) the monthly literary magazine, and now its Senior Editor. His recent poems was collected in Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, literally The Shame (Mine) for Being an Indonesian (2000). His works translated into Dutch, English, Japanese, Chinese, Arabic and French. He is doctor in veterinary medicine and animal husbandry. Read his poems nationwide and in 24 cities outside Indonesia, since 1970. Writer-in-residence at the University of Iowa (1971-72, 1991-92) and Dewan Bahasa & Pustaka, Kuala Lumpur (1993). Active in campaigning literature into schools, he edited 4 volumes, 2560 pages anthology of Indonesian poetry, short stories, novel fragments and drama, titled Horison Sastra Indonesia, launched January 2002, distributed to Indonesian high school libraries.















Nama:
Asrul Sani
Lahiruari 2004, Pukul 22.15 WIB
Istri:
(1) Siti Nurani dan (2) Mutiara Sarumpaet
Anak:
Tiga putra, tiga putri, enam cucu
Ayah:
Sultan Marah Sani Syair Alamsyah, gelar Yang Dipertuan Rao Mapattunggal Mapatcancang

Pendidikan:
Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Indonesia (IPB)
Dramaturgi dan sinematografi di University of Southern California, Amerika Serikat tahun 1955-1957
Sekolah Seni Drama di Negeri Belanda tahun 1951-1952
SLTP hingga SLTA di Jakarta
SD di Rao, Sumatera Barat

Karir Politik:
Anggota DPR GR 1966-1971 mewakili Partai Nahdhatul Ulama
Anggota DPR RI 1972-1982 mewakili PPP

Pendiri :
�Gelanggang Seniman Merdeka�
Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI)

Kegiatan Pergerakan:
Lasjkaer Rakjat Djakarta, Tentara Pelajar di Bogor

Kegiatan Penerbitan:
Menerbitkan �Suara Bogor�, redaktur majalah kebudayaan �Gema Suasana�, anggota redaksi �Gelanggang�, ruang kebudayaan Majalah� Siasat�, dan wartawan Majalah �Zenith�
Konsep Kebudayaan:
�Surat Kepercayaan Gelanggang�

Penghargaan:
Tokoh Angkatan 45
Bintang Mahaputra Utama, tahun 2000
Enam buah Piala Citra pada Festifal Film Indonesia (FFI)
Film Terbaik pada Festival Film Asia tahun 1970

Karya Puisi:
�Tiga Menguak Takdir� bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin, �Surat dari Ibu�, �Anak Laut�, 19 buah puisi dan lima buah cerpen sebelum penerbitan antologi �Tiga Menguak Takdir� tahun 1950, lalu sesudahnya tujuh buah puisi, enam buah cerpen, enam terjemahan puisi, tiga terjemahan drama, dan puisi-puisi lain yang dimuat antara lain di yang dimuat di majalah �Siasat�, �Mimbar Indonesia�, dan �Zenith�.

Karya Film:
�Titian Serambut Dibelah Tudjuh�, �Apa yang Kau Cari Palupi� �Monumen�, �Kejarlah Daku Kau Kutangkap�, �Naga Bonar�,. �Pagar Kawat Berduri�, �Salah Asuhan�, �Para Perintis Kemerdekaan�, �Kemelut Hidup�

Alamat Rumah:
Kompleks Warga Indah, Jalan Attahiriyah No. 4E, Pejaten, Kalibata, Jakarta Selatan
 





Asrul Sani

Seniman Pelopor Angkatan '45


Asrul Sani seniman kawakan yang antara lain dikenal lewat Sajak Tiga Menguak Takdir bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin meninggal dunia hari Minggu 11 Januari 2004 malam sekitar pukul 22.15 di kediamannya di Jln. Attahiriah, Kompleks Warga Indah No. 4E, Pejaten Jakarta. Seniman kelahiran Rao, Sumbar, 10 Juni 1927 ini wafat setelah kesehatannya terus menurun sejak menjalani operasi tulang pinggul sekitar satu setengah tahun sebelumnya.


Dia adalah pelaku terpenting sejarah kebudayaan modern Indonesia. Jika Indonesia lebih mengenal Chairil Anwar sebagai penyair paling legendaris milik bangsa, maka adalah Asrul Sani, Chairil Anwar, dan Rivai Apin yang mengumpulkan karya puisi bersama-sama berjudul
Tiga Menguak Takdir yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku di tahun 1950. Mereka bertiga bukan hanya menjadi pendiri Gelanggang Seniman Merdeka, malahan didaulat menjadi tokoh pelopor sastrawan Angkatan 45.

Dalam antologi
Tiga Menguak Takdir Asrul Sani tak kurang menyumbangkan delapan puisi, kecuali puisi berjudul Surat dari Ibu. Sejak puisi Anak Laut yang dimuat di Majalah Siasat No. 54, II, 1948 hingga terbitnya antologi Tiga Menguak Takdir tadi, Asrul Sani tak kurang menghasilkan 19 puisi dan lima buah cerpen. Kemudian, semenjak antologi terbit hingga ke tahun 1959 ia antara lain kembali menghasilkan tujuh buah karya puisi, dua diantaranya dimuat dalam Tiga Menguak Takdir, lalu enam buah cerpen, enam terjemahan puisi, dan tiga terjemahan drama. Puisi-puisi karya Asrul Sani antara lain dimuat di majalah Siasat, Mimbar Indonesia, dan Zenith.

Sastrawan Angkatan 45 bukan hanya dituntut bertanggungjawab untuk menghasilkan karya-karya sastra pada zamannya, namun lebih dari itu, mereka adalah juga nurani bangsa yang menggelorakan semangat kemerdekaan. Adalah tidak realistis sebuah bangsa bisa merdeka hanya bermodalkan bambu runcing. Namun ketika para
nurani bangsa itu mensintesakan keinginan kuat bebas merdeka menjadi jargon-jargon merdeka atau mati dan semacamnya, maka, siapapun pasti akan tunduk kepada suara nurani.

Sesungguhnya bukan hanya bersastra, pada tahun 1945-an itu Asrul Sani yang pernah duduk sebangku dengan sastrawan Pramoedya Ananta Toer sewaktu sekolah di SLTP Taman Siswa Jakarta, bersama kawan-kawan telah menyatukan visi perjuangan revolusi kemerdekaan ke dalam bentuk Lasjkar Rakjat Djakarta. Masih di masa revolusi itu, di Bogor dia memimpin Tentara Pelajar, menerbitkan suratkabar
Suara Bogor, redaktur majalah kebudayaan Gema Suasana, anggota redaksi Gelanggang, ruang kebudayaan majalah Siasat, dan menjadi wartawan pada majalah Zenith.

Hingga tiba pada bulan Oktober 1950 saat usianya masih 23 tahun, Asrul Sani sudah mengkonsep sekaligus mengumumkan pemikiran kebudayaannya yang sangat monumental berupa
Surat Kepercayaan Gelanggang, yang isinya adalah sebentuk sikap kritisnya terhadap kebudayaan Indonesia. Isinya, antara lain berbunyi, kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat kecil bagi kami adalah kumpulan campur baur dari mana-mana dunia-dunia baru yang sehat dan dapat dilahirkan.

Asrul Sani yang kelahiran Rao, Pasaman, Sumatera Barat 10 Juni 1927 sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara, selain penyair adalah juga penulis cerita pendek, esei, penterjemah berbagai naskah drama kenamaan dunia, penulis skenario drama dan film, serta sekaligus sutradara panggung dan film. Bahkan, sebagai politisi ia juga pernah lama mengecap aroma kursi parlemen sejak tahun 1966 hingga 1971 mewakili Partai Nahdhatul Ulama, dan berlanjut hingga tahun 1982 mewakili Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Hal itu semua terjadi, terutama aktivitas keseniannya, adalah karena keterpanggilan jiwa sebab meski telah menamatkan pendidikan sarjana kedokteran hewan pada Fakultas Kehewanan IPB Bogor (ketika itu masih fakultas bagian dari Universitas Indonesia) dan menjadi dokter hewan, pada sekitar tahun 1955 hingga 1957 Asrul Sani pergi ke Amerika Serikat justru untuk menempuh pendidikan dramaturgi dan sinematografi di University of Southern California.

Seni dan keteknikan adalah dua dunia yang berbenturan dalam diri Asrul. Setamat Sekolah Rakyat di Rao, Asrul Sani menuju Jakarta belajar di Sekolah Teknik, lalu masuk ke Fakultas Kehewanan Universitas Indonesia (di kemudian hari dikenal sebagai Institut Pertanian Bogor). Sempat pindah ke Fakultas Sastra UI namun kemudian balik lagi hingga tamat memperoleh titel dokter hewan. Agaknya kekuatan jiwa seni telah memenangkan pertaruhan isi batin Asrul Sani. Maklum, bukan hanya karena pengalaman masa kecil di desa kelahiran yang sangat membekas dalam sanubarinya, sebelum ke Negeri Paman Sam Amerika Serikat pun pada tahun 1951-1952 ia sudah terlebih dahulu ke Negeri Kincir Angin Belanda dan belajar di Sekolah Seni Drama.

Selain karena pendekatan akademis dan romatisme kehidupan pertanian di desa, totalitas jiwa berkesenian terutama film makin menguat pada dirinya setelah Asrul Sani bertemu Usmar Ismail, tokoh lain perfilman. Bahkan, keduanya sepakat mendirikan Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) yang melahirkan banyak sineas maupun seniman teater kesohor, seperti Teguh Karya, Wahyu Sihombing, Tatiek W. Maliyati, Ismed M Noor, Slamet Rahardjo Djarot, Nano dan Ratna Riantiarno, Deddy Mizwar, dan lain-lain.

Film pertama yang disutradarai Asrul Sani adalah
Titian Serambut Dibelah Tudjuh pada tahun 1959. Dan, ia mulai mencapai kematangan ketika sebuah film karyanya Apa yang Kau Cari Palupi terpilih sebagai film terbaik pada Festival Film Asia pada tahun 1970. Karya besar film lainnya adalah Monumen, Kejarlah Daku Kau Kutangkap, Naga Bonar,. Pagar Kawat Berduri, Salah Asuhan, Para Perintis Kemerdekaan, Kemelut Hidup, dan lain-lain. Tak kurang enam piala citra berhasil dia sabet, disamping beberapa kali masuk nomibasasi. Alam pikir yang ada adalah, sebuah film jika dinominasikan saja sudah pertanda baik maka apabila hingga enam kali memenangkan piala citra maka sineasnya bukan lagi sebatas baik melainkan dia pantas dinobatkan sebagai tokoh perfilman.

Itulah Asrul Sani, yang pada hari Minggu, 11 Januari 2004 tepat pukul 22.15 WIB dengan tenang tepat di pelukan Mutiara Sani (56 tahun) istrinya meninggal dunia pada usia 76 tahun karena usia tua. Dia meninggal setelah digantikan popoknya oleh Mutiara, diberikan obat, dan dibaringkan. Sebagaimana kematian orang percaya, Asrul Sani menjelang menit dan detik kematiannya, usai dibaringkan tiba-tiba dia seperti cegukan, lalu kepalanya terangkat, dan sebelum mengkatupkan mata untuk selamanya terpejam dia masih sempat mencium pipi Mutiara Sani, yang juga aktris film layar lebar dan sinetron.

Asrul Sani meninggalkan tiga putra dan tiga putri serta enam cucu, serta istri pertama Siti Nuraini yang diceraikannya dan istri kedua Mutiara Sani Sarumpaet. Semenjak menjalani operasi tulang pinggul enam bulan lalu, hingga pernah dirawat di RS Tebet, Jakarta Selatan, kesehatan Asrul Sani mulai menurun. Dia adalah putra bungsu dari tiga bersaudara. Ayahnya, Sultan Marah Sani Syair Alamsyah, Yang Dipertuan Rao Mapattunggal Mapatcancang adalah raja adat di daerahnya.

Selama hidupnya Asrul Sani hanya mendedikasikan dirinya pada seni dan sastra. Sebagai penerima penghargaan Bintang Mahaputra Utama dari Pemerintah RI pada tahun 2000 lalu, dia berhak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Namun dia berpesan ke istrinya untuk hanya dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Menteng Pulo, Jakarta Selatan dengan alasan, sambil bercanda tentunya ke Mutiara Sani setahun sebelumnya,
masak sampai detik terakhir, kita masih mau diatur negara.

Meski sudah mulai mengalami kemunduran kesehatan dalam jangka waktu lama, Asrul Sani masih saja menyempatkan menulis sebuah pidato kebudayaan, yang, konon akan dia sampaikan saat menerima gelar doktor kehormatan honoris causa dari Universitas Indonesia, Jakarta. Nurani bangsa itu telah pergi. Tapi biarlah nurani-nurani aru lain mekar tumbuh berkembang seturut zamannya.
*hp

*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)


Sobron Aidit

dari Belitung sampai Paris

Bari Muchtar
11-10-2004
Sobron Aidit
Sobron Aidit dilahirkan 2 Juni 1934 di Belitung, Sumatera Selatan, dan meninggalkan Indonesia pada 1963 untuk bekerja di Tiongkok. Pada tahun 1965 terjadi peristiwa besar apa yang disebut G30S. Orang-orang yang berkaitan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Indonesia ditangkapi dan yang tinggal di luar negeri terhalang pulang. Adik kandung DN Aidit itu termasuk di antaranya. Berikut bagian pertama rangkuman wawancara dengan sastrawan yang sampai sekarang masih aktif menulis. Wawancara ini sudah disiarkan dalam acara masyarakat multikultural.
Ke Tiongkok
Sebelum berangkat ke luar negeri adik Ketua CC PKI ini bekerja sebagai guru/dosen dan wartawan. Dia antara lain mengajar di sekolah SMA THHK (Tiong Hoa Hwee Kwan) dan di Akademi Sastra Multatuli, yang didirikannya bersama Prof. Bakri Siregar. Sebagai jurnalis dia bekerja antara lain untuk Harian Rakyat dan Bintang Timur. Pada 1963 Sobron berangkat ke Tiongkok. Di sana dia tetap bekerja di bidang pengajaran bahasa dan sebagai jurnalis antara lain di Peking Review. Pada saat Gerakan RBKP (Revolusi Besar Kebudayaan Proletar) dia berhenti bekerja dan disuruh turba (turun ke bawah). Seusai RBKP tahun 1979 Sobron bekerja di Radio Peking sebagai penyiar dan redaktur.
Pindah ke Paris
Setelah habis kontrak pada tahun 1980 Sobron mau pergi dari Tiongkok tapi belum tahu mau ke mana. Dia ingat pesan alhmarhumah istrinya yang mengatakan: "Pergilah dari sini!." Semula di terpikir mau ke negara yang berbahasa Inggris seperti Kanada. Sempat juga terpikir mau ke Hongkong, tapi takut diekstradisi ke Indonesia. Terus ada yang mengusulkan agar ke Paris saja karena di sana belum banyak orang Indonesia. Akhirnya dia berangkat ke Paris padahal sangat buta soal Prancis. "Kami nggak tahu dunia Paris itu. Satu patah bahasa pun ndak tahu," tandas Sobron.  Begitu tiba di negeri itu, dia dikursuskan bahasa Prancis di semacam pusat penampungan para pengungsi. Setelah itu mereka dilepas untuk berdikari.
Membuka restoran Indonesia
Lalu muncul beberapa ide antara lain untuk membuka toko buku, toko rempah-rempah atau warung keliling. Tapi semua ini tidak bisa menyuplai lowongan kerja yang banyak, karena mereka berjumlah 11 orang. Akhirnya diputuskan untuk mendirikan restoran Indonesia secara kolektif. Alasannya karena restoran banyak menyerap tenaga kerja dan dinilai bisa menguntungkan. Selama enam bulan tiap hari pak Sobron bersama sesepunya pak Umar Said mencari lokasi untuk dijadikan restoran. Untuk mengerti soal menu mereka mendatangi restoran-restoran yang ada.  Menunya kadang-kadang mereka bawa untuk dianalisa. Selain itu mereka juga mempelajari strategi letak restoran. "Apakah di sekitar itu banyak pegawai, buruh, mahasiswa dan lain-lain." jelas pria kelahiran Belitung ini.
Kebanyakan dari mereka tidak ada yang berpengalaman membeli dan mengelola restoran. Tapi untungnya mereka dibantu oleh teman-teman orang Prancis. Beberapa kali mereka hampir mengambil alih beberapa restoran tapi dibatalkan, karena berbagai alasan. Misalnya, karena tempatnya dekat lokasi pelacuran atau karena gedungnya akan digusur. Sobron: "Jadi, yang nggak jadi ini beberapa kali." Akhirnya mereka menemukan sebuah restoran yang cocok lokasinya. Namanya restoran Madras. 'Orangnya sudah tua-tua, nggak mau lagi mengurusnya," tutur Sobron. Lokasi restoran ini sangat strategis dan menguntungkan, karena tempat itu ramai dilewati orang dan di kawasan tempat orang makan. "Itu 'bubu' yang baik sekali telaknya. Kalau bahasa Belitung kami, sebuah 'sero' yang letaknya sangat strategis untuk ikan masuk." tegas sastrawan ini. Maka pada 14 Desember 1982 berdirilah sebuah restoran "Indonesia" di pusat keramaian kota Paris.
Kolektif
Restoran ini adalah restoran kolektif yang dananya dipinjam dari bermacam-macam sumber, terutama dari Belanda. Tapi ada juga sumbangan misalnya dari gereja Katolik. Selain itu para pendiri restoran, yang tediri dari enam orang, juga menggunakan uang tunjangan selama dua tahun yang diterima dari pemerintah Prancis.  "Jadi kami beberapa orang, enam orang pada waktu itu, disatukan menjadi uang kami punya hak dua tahun itu ditumpukkan." tandas Sobron dengan semangat. Di samping itu mereka juga mendapat bantuan dari teman-teman termasuk teman-teman orang Prancis. Mereka mendapat simpati dan bantuan dari orang Prancis karena mereka menciptakan kerja untuk para pelarian politik. Ini berarti mengurangi beban pemerintah Prancis. Ini semua berkat kesungguhan dan kejujuran, sehingga rakyat dan pemerintah Prancis sangat simpati. Sobron: "Bung barangkali sudah tahu bahwa presiden Mitterand sangat bersimpati. Sampai istri presiden enam atau tujuh kali makan di situ." tandas Sobron dengan semangat yang sama. 
Diboikot dan diprovokasi
Sebelum lengsernya Soeharto sangat jarang orang dari Kedutaan Republik Republik Indonesia (KBRI)  makan di restoran itu. Malah ada semacam seruan dari menlu Mochtar Kusumaatmaja agar para diplomat tidak makan di restoran "orang-orang PKI" itu. Tapi menurut Sobron ada saja diplomat yang diam-diam makan di sana. Sobron: "Orang yang mau makan itu tidak berpolitik. Pokoknya enak. Mereka tetap mau makan ke restoran kami, "ujar Sobron.  Pihak restoran tentu saja menyambut mereka dengan baik. Namun ada juga di antara para diplomat itu yang sinis. Pernah seorang diplomat menanyakan kenapa bahan makanannya dibeli di Belanda, bukan di Indonesia. Ketika dijawab: "Karena itu tidak praktis", mereka berkata bernada provokatif: "Ah bilang aja kalo takut pulang, " cerita Sobron. Tapi para pemilik restoran berusaha agar jangan terpancing.
Pasca Soeharto, hubungan membaik
Namun setelah Soeharto tumbang, hubungan antara para pemilik restoran itu dengan KBRI sangat baik. Sobron: "Pernah baru-baru ini dua dubes sekaligus, dari Belanda sama dari Prancis, dua-dua datang," tutur Sobron. Jadi hubungannya sangat baik. Karena apa? "Karena kami tidak pernah memusuhi mereka. Yang memusuhi kami mereka," jawabnya. Lagi pula sifat ramah tamah dan baik hati harus dimiliki oleh orang restoran. "Itulah yang diajarkan kepada kami selama puluhan tahun ini," tegas Sobron

Biografi Tokoh-Tokoh
In Memoriam Mochtar Lubis: Mengapa Takut kalau untuk Kepentingan Bangsa?
JAKARTA - Saya sendiri heran mendengar orang berkata bahwa Mochtar Lubis itu pemberani… Ada pergulatan terus dalam diri saya kalau mau melawan terhadap orang-orang besar, terhadap orang-orang berkuasa, orang-orang yang bisa menangkap kita setiap saat.
Bukan tidak ada rasa takut. Saya bergulat terus dengan rasa takut saya itu. Tapi pertahanan saya adalah: kenapa kita harus takut kalau kita yakin bahwa yang akan kita kemukakan itu adalah benar, untuk kepentingan masyarakat, untuk kepentingan bangsa.

Demikian sepenggal ungkapan Mochtar Lubis yang direkam dalam buku Mochtar Lubis Wartawan Jihad. Mochtar Lubis (82) memang memegang teguh prinsip tentang kebenaran, sehingga ia sangat memperhatikan masalah kebebasan pers, serta kebebasan menyatakan pikiran dan pendapat.
Sosok yang jangkung untuk ukuran orang Indonesia, yakni 1,82 meter, Mochtar Lubis adalah Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi harian Indonesia Raya yang telah tujuh kali dibredel. Enam kali pada masa Orde Lama dan satu kali pada masa Orde Baru, tetapi fatal.
Selama masa Orde Lama, lima wartawannya ditahan dari beberapa hari sampai sebulan. Mochtar sendiri menjadi tahanan rumah dan lembaga pemasyarakatan (LP) hampir terus menerus selama sembilan tahun. Pada masa Orde Baru ia ditahan lagi selama 2,5 bulan.
Kini Mochtar Lubis tinggal kenangan. Ia telah meninggal di Rumah Sakit (RS) Medistra, Jakarta, Jumat (2/7), pukul 19.00, setelah dirawat selama seminggu.
Sakit flu menyebabkan pria kelahiran Padang, 7 Maret 1922 ini tidak bisa mengeluarkan dahak; ia sudah lama menderita asma.
Sabtu (3/7) hari ini pukul 10.00 jenazahnya disemayamkan di Taman Ismail Marzuki (TIM), dan dimakamkan di samping makam istrinya, Halimah, di Taman Pemakaman Umum (TPU) Jeruk Purut.
Sebelumnya, sejak 1994, budayawan, novelis dan wartawan senior ini menderita penyakit alzheimer. Selama dua tahun terakhir ini ia hampir tidak mengenal lagi orang-orang terdekatnya. Menurut kedua putranya, Iwan dan Arman Lubis, kesehatan Mochtar terus menurun sejak istrinya meninggal tahun 2001.
Gunawan Harmoko, wartawan Indonesia Raya yang ketika itu ikut membongkar kasus korupsi, mempunyai kesan tentang Mochtar Lubis. "Ia orang yang luar biasa, orang besar dalam dunia pers. Sampai sekarang di antara orang-orang pers yang sudah meninggal dan masih hidup, tidak ada yang lebih hebat daripada Mochtar Lubis," katanya.
Kebenaran, kebebasan, hak asasi manusia dan antiamplop. Itulah selalu pesan Mochtar kepada semua anak buahnya. Mochtar juga tidak rasialis, buktinya Indonesia Raya adalah koran satu-satunya yang tidak menyebut Cina tapi Tionghoa. "Tidak menyebut Republik Rakyat Cina (RRC) tapi Republik Rakyat Tiongkok (RRT) karena memang namanya Tiongkok," kata Gunawan kepada SH.
Gunawan juga masih ingat ketika Mochtar meninjau Pulau Buru, tempat pembuangan orang-orang yang dituduh komunis. Mochtar mempertanyakan mengapa para tahanan itu tidak diberi peralatan yang sesuai dengan minat mereka tetapi malah diberi cangkul. Padahal Mochtar termasuk antikomunis.
Kesan juga masih melekat di benak Victor Sihite, wartawan senior Sinar Harapan yang tahun 1968 bekerja di Indonesia Raya karena kagum terhadap surat kabar yang mendapat julukan sebagai koran jihad terhadap korupsi, skandal dan kebobrokan di kalangan pejabat pemerintah itu.

Mochtar adalah seorang periang, blak-blakan dan terbuka. Jika tulisan wartawan jelek ia katakan jelek dan jika bagus tidak segan-segan memujinya. Bagi wartawan yang menerima amplop akan dipecat. Mochtar sendiri konon pernah didekati seorang utusan penguasa Orde Baru dalam rangka "menjinakkan".
Utusan itu mengatakan bahwa di Kalimantan masih ada ratusan ribu hektare hutan yang belum bertuan dan silakan digarap, akan disiapkan HPH-nya. Tapi Mochtar dengan halus menampiknya. "Anda sajalah yang menggarap karena Anda lebih ahli soal hutan. Keahlian saya cuma tulis-menulis," kata Mochtar.
Mochtar juga menampung seorang wartawan Yogyakarta yang saat itu mendapat teror dari penguasa karena getol mengorek skandal pemerkosaan terhadap seorang wanita pedagang telur oleh anak-anak pejabat di Yogyakarta. Peristiwa itu terkenal dengan kasus Sum Kuning.

Membongkar Korupsi
Prinsip tentang kebenaran telah mendorong Mochtar untuk melontarkan kritik-kritik tajam, termasuk mengritik korupsi di perusahaan minyak Indonesia. Sekitar tahun 1951, ketika karisma Bung Karno masih sangat kental, ia sudah melancarkan kritik terhadap politik Presiden pertama RI itu.

Selama setengah tahun terakhir pada 1956, tiga peristiwa penting terjadi pada Indonesia Raya, sebelum akhirnya dibredel. Indonesia Raya gencar memberitakan tentang rencana penahanan Menteri Luar Negeri Roeslan Abdulgani sesaat sebelum berangkat ke London. Pada waktu itu Roeslan diduga terlibat korupsi bersama Lie Hok Thay. Penahanan Roeslan akhirnya gagal berkat intervensi Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo.
Setelah Indonesia Raya tidak lagi terbit, tahun 1961 Mochtar dipenjarakan di Madiun bersama mantan PM Sutan Sjahrir, Mohammad Roem, Anak Agung Gde Agung, Sultan Hamid, Soebadio Sastrosatomo dan lain-lain. Semuanya dinilai sebagai oposan Presiden Soekarno.
Tahun 1968 Indonesia Raya terbit kembali, kemudian Mochtar melancarkan investigasi mengenai korupsi di Pertamina yang dipimpin Letjen Dr. Ibnu Sutowo. Utang yang dibuat Ibnu Sutowo di luar negeri mencapai US$ 2,3 miliar. Ia diberhentikan oleh Presiden Soeharto.
Keluarga besar Indonesia Raya secara resmi "bubar jalan" tahun 1974 setelah koran itu diberangus menyusul peristiwa yang terkenal dengan sebutan Malari (Malapetaka Januari 1974). Ketika itu para mahasiswa mendemo PM Jepang Tanaka. Ketika itu Pasar Senen dibakar, disulut oleh anak buah Kepala Opsus Ali Moertopo. Maka Presiden Soeharto menginstruksikan membreidel sejumlah surat kabar antara lain Indonesia Raya, Pedoman dan Abadi.
Selanjutnya meski bukan sebagai wartawan lagi, Mochtar tetap gemar melakukan kritikan. Sembilan hari setelah Presiden Soeharto menyampaikan amanat di DPR pada 16 Agustus 1983, dia menulis keras dalam harian Kompas. Dia menyatakan bahwa apa yang tidak diucapkan oleh Soeharto jauh lebih penting dibanding dengan yang diucapkan, yakni persoalan korupsi yang sudah mengakar.
Mochtar juga banyak aktif di berbagai organisasi jurnalistik luar negeri, seperti Press Foundation of Asia. Di dalam negeri mendirikan majalah sastra Horison dan menjadi Direktur Yayasan Obor Indonesia yang menerbitkan buku-buku bermutu. Selain sebagai wartawan, Mochtar juga dikenal sebagai sastrawan. Pada mulanya menulis cerita pendek (cerpen) dengan menampilkan tokoh karikatural Si Djamal. Kemudian menulis novel seperti Harimau Harimau, Senja di Jakarta, Jalan Tak Ada Ujung, Berkelana dalam Rimba. Dia memperoleh Magsaysay Award untuk jurnalistik dan kesusastraan.
Selamat jalan, wartawan jihad!

SH/tutut herlina/victor sihite/wahyu dramastuti
Sumber: Sinar Harapan, 3 Juli 2004